Industri petrokimia merupakan industri yang harus terus diperkuat. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan ada 5 rencana investasi petrokimia yang siap dilakukan hingga 2025. Pertama, proyek industri metanol menjadi olefin di Teluk Bintuni, Papua Barat dengan nilai investasi sebesar US$2,5 miliar. Investor yang mengincar proyek ini antara lain PT Pupuk Indonesia, Sojitz, Ferrostaal, dan LG. Proyek ini akan dilelang pada Oktober 2018 dan ditargetkan beroperasi pada 2021 dan 2022.
Kedua, proyek industri naphtha cracker milik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk untuk peningkatan kapasitas sebesar US$5,44 miliar. Ketiga, proyek pembangunan twin cracker oleh Chandra Asri senilai US$5 miliar. Keempat, proyek industri naphtha cracker milik PT Lotte Chemical di Cilegon dengan nilai investasi sebesar US$3,5 miliar yang diproyeksikan selesai pada 2023 mendatang dengan total kapasitas sebanyak 2 juta ton per tahun.
Kelima, manufaktur besar Thailand, Siam Cement Group (SCG), yang juga berencana membangun fasilitas produksi naphtha cracker senilai US$600 juta di Cilegon, Banten. Dengan tambahan investasi Lotte Chemical, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan Siam Cement Group tersebut, Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis naphtha cracker sebanyak 3 juta ton per tahun.
Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian, menyatakan sebenarnya ada 11 minat investasi di industri kimia hingga 2025 mendatang. Namun, yang paling besar untuk segera direalisasikan hanya 5 proyek tersebut. Menurutnya, adanya minat investasi seiring dengan meningkatnya permintaan dari dalam negeri yang diperkirakan naik sebesar 6%?7% sepanjang tahun 2017 lalu.
?Ini didorong sentimen positif rencana penurunan harga gas menjadi US$6 per mmbtu dan rencana revisi bea masuk liquefied petroleum gas (LPG) dari 5% menjadi 0%. Kita akan memperbesar nilai tambah industri petrokimia (industri bahan kimia dan barang kimia) ini yang pada tahun lalu menyumbang 1,25% terhadap PDB nasional,? katanya belum lama ini.
Jika menilik ke belakang, selama tahun 2012?2016, investasi asing (penanaman modal asing/ PMA) di industri kimia dan farmasi berkecenderungan fluktuatif. Investasi tersebut sebesar US$2,77 miliar pada 2012, dan naik menjadi US$3,14 miliar pada 2013. Pada tahun berikutnya, turun menjadi US$2,32 miliar pada 2014, dan sebesar US$1,96 miliar pada 2015. Kembali tumbuh positif menjadi US$2,89 miliar pada 2016.
Bahan baku merupakan salah satu tantangan yang dialami oleh industri ini. Kebutuhan bahan baku petrokimia dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, baru bisa terpenuhi sekitar 2,45 juta ton per tahun dari dalam negeri. Alhasil, sekitar 50% bahan baku industri untuk memenuhi permintaan sektor petrokimia masih bergantung pada impor.
Untuk mendukung perkembangan industri petrokimia nasional, diperlukan ketersediaan bahan baku dan pasokan energi bagi industri berbasis migas dan petrokimia. Ketersediaan bahan baku dan energi dengan harga yang kompetitif akan meningkatkan kembali kontribusi sektoral industri petrokimia.
Pulau Jawa merupakan wilayah produsen utama industri petrokimia nasional, baik industri hulu maupun antara. Pangsa pasar industri hulu petrokimia sekitar 67% terhadap pangsa nasional, adapun pangsa pasar petrokimia untuk hilir sekitar 62% terhadap pangsa pasar nasional. Banten dan Jawa Barat adalah wilayah yang menguasai produksi terbesar untuk rantai produksi hulu dan hulu antara. Adapun Jawa Tengah dan Jawa Timur menguasai rantai produksi hulu antara dan antara. Namun, jumlah tenaga kerja pada industri ini paling besar berada?di Banten. Pasalnya Banten menjadi sentra industri petrokimia dengan skala perusahaan yang besar.
Industri ini menjadi bagian penting dari perdagangan global. Mitra perdagangan petrokimia didominasi oleh negara-negara Asia. Komodits ethane, naptha dan propane disuplai oleh negara penghasil minyak bumi, seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab. Itu untuk memenuhi kebutuhan impor bahan baku. Sedangkan untuk aktivitas ekspor, industri petrokimia dengan produk olefins dan aromatics mengirim ke Tiongkok dan Thailand. Dari kedua negara tersebut, industri petrokimia juga mengimpor. Secara spesifik impor yang dilakukan adalah industri antara seperti plastic primary form, resin, fiber, syntetic latex, dan chemicals.?
Pekerjaan rumah dari industri ini adalah penguatan daya saing perdagangan. Apalagi memiliki ketergantungan bahan baku yang besar. Tentunya, secara nasional, juga akan berdampak pada kualitas neraca perdagangan Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu