Salah satu permasalahan utama gula nasional adalah rembesnya gula rafinasi atau gula yang digunakan untuk kebutuhan industri ke pasar gula kristal putih atau gula yang dikonsumsi masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan harga yang cukup tajam antara gula rafinasi dengan gula kristal putih. Perbedaan harga terjadi karena adanya pembatasan atau restriksi yang dikenakan pada kebijakan impor gula kristal putih.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri, mengatakan, harga gula rafinasi per kilogramnya berkisar antara Rp8.000?Rp8.800. Sementara itu, gula kristal putih dijual di kisaran lebih dari Rp12.000 per kilogramnya. Perbedaan harga ini membuka celah adanya rembesan gula rafinasi ke pasar gula kristal putih.
"Pembatasan atau restriksi yang ditetapkan pemerintah pada kebijakan impor gula kristal putih relatif lebih ketat dibandingkan gula rafinasi. Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh BUMN dengan volume impor yang ditentukan dan dibatasi serta waktu impor yang sangat tergantung pada rapat koordinasi antar kementerian,? jelas Novani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Selain itu, tidak ada mekanisme yang jelas dalam penentuan BUMN yang diberikan wewenang untuk mengimpor dan penentuan volume impor yang didasarkan data yang berbeda dari berbagai institusi juga membuat jumlah kebutuhan impor menjadi tidak akurat. Tidak transparannya hal ini diduga terjadi karena terbatasnya jumlah entitas impor dan produsen sehingga berpeluang adanya praktik kartel, atau penetapan kuota impor yang sering tidak sesuai dengan jumlah permintaan yang sebebarnya.
Novani menjelaskan, kalau berbagai pembatasan ini mampu menjamin ketersediaan gula yang sesuai dengan permintaan konsumen maka kebijakan ini baru bisa dikatakan efektif. Sayangnya, sering didapati kebijakan impor gula kristal putih justru kurang efektif meredam gejolak harga di pasar.
Pada kebijakan impor gula rafinasi, selain BUMN, pihak swasta juga diberikan kewenangan dalam mengimpor. Dengan adanya pelibatan pihak swasta, mereka dapat mengimpor sesuai dengan kebutuhan pasar domestik dan tidak meminimalisir adanya penetapan harga oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, dalam proses impor gula rafinasi tidak diperlukan adanya surat rekomendasi dari ditjen kementerian terkait membuat proses impor menjadi lebih mudah.
"Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi salah satu pemicu mengapa secara jumlah permintaan gula rafinasi dapat dipenuhi sehingga harga gula rafinasi dapat lebih terjangkau," imbuh Novani.
Pemerintah seharusnya melonggarkan restriksi terhadap kebijakan gula kristal putih agar harganya bisa bersaing secara kompetitif dengan gula rafinasi. Restriksi yang diterapkan kepada kebijakan impor gula konsumsi seharusnya disamakan dengan yang diterapkan pada gula rafinasi.
"Dengan harga yang kompetitif, diharapkan tidak akan ada lagi rembesan," tandas Novani.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: