Revitalisasi pabrik gula tua yang digalakkan pemerintah dinilai sia-sia dalam menahan laju impor, jika tidak diimbangi dengan bertumbuhnya pasokan dari perkebunan tebu.
Kondisi makin memburuk dan impor kembali jadi pilihan pahit, jika di tengah peningkatan produksi tebu yang tergopoh-gopoh, revitalisasi industri gula tak menambah luasan lahan tebu.
?Ini kan tidak terlepas dari ketersediaan bahan baku. Revitalisasi hasilnya nol kalau tidak ada yang digiling,? ujar Peneliti Agro Ekonomi dari IPB Agus Pakpahan dalam keterangannya, Kamis (17/1).
Berkurangnya lahan tebu membuat produksi tidak bisa terangkat. Pada tahun 2014, produksi tebu nasional mencapai 2,58 juta ton, kemudian menciut menjadi 2,46 juta ton pada tahun 2017. Padahal di sisi lain, Kementerian Pertanian mencanangkan mampu swasembada gula pada tahun 2019.
Untuk diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, luas perkebunan tebu di Indonesia memang tampak terkikis. Pada tahun 2014, luas lahan perkebunan tebu masih berada di angka 478.108 hektare. Namun pada 2017, lahan tebu tersisa 453.456 hektare. Ada penurunan luas areal lahan hingga 24.652 hektare lahan dalam 3 tahun.
Agus menjelaskan, dari pengamatannya, pabrik gula Indonesia terus mengalami kekurangan pasokan tebu. Masalahnya memang keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebunya tidak homogen.
Artinya, ada tempat yang kelebihan pasokan tebu, ada pula yang kekurangan. ?Secara umum sekarang kekurangan bahan baku (pabrik gula.red) karena terjadi penurunan luas area tanam,? ucapnya.
Masalah utamanya, menurut Agus adalah karena kebijakan yang ada tak mampu membuat petani bergairahnya untuk menanam. Melihat catatan kebelakang, kinerja pabrik gula indonesia sempat mencapai titik terendah di tahun 1998 dengan produksi hanya mencapai 1,49 juta ton.
Namun kemudian produksi gula lokal dapat merangkak naik dari tahun 2002 sampai tahun 2008. Sayangnya tren produksi gula setelah 2008 kembali menunjukkan penurunan, hingga sekarang hanya mencapai 2,1 juta ton.
?Mau pabrik gula baru pun, kalau tidak bisa merangsang petani (berproduksi.red) tidak akan berkembang pohon tebu,? tuturnya.
Dengan kondisi ini, tak heran belakangan, pabrik gula pun akhirnya terdorong untuk menyerap impor raw sugar untuk mengoptimalkan utilitas pabriknya.
Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyatakan, gula impor yang didatangkan demi menutupi pasokan yang kurang di dalam negeri, kian lama membuat industri dalam negeri kewalahan dan banyak yang bangkrut.
?Petani tebu terkena imbasnya juga, mereka malas menanam tebu karena harganya murah, jadi kalau pemerintah mau membenahi masalah gula di beberapa bulan terakhir, harus mau belajar dari sejarah itu, sebetulnya, politik gula harus diperbaiki,? tuturnya.
Ia mengatakan, perusahaan-perusahaan gula di bawah Kementerian BUMN (PTPN dan RNI), bukan hanya harus memperbaiki pabrik gulanya, namun harus disertai perlindungan bagi petani dari pemerintah.
?Perbaikan atau pembangunan tidak akan efisien, karena petani tidak diberikan subsidi dan perlindungan. Di Indonesia itu bentuknya bansos semua ke petani, jadi lebih ke politis, dan tidak berpengaruh ke perkembangan pertanian,? jelasnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus berpandangan, revitalisasi yang dilakukan Kementerian BUMN memang masih belum efektif. Hal ini membuat ketergantungan impor terus terjadi.
Anggaran yang sudah dikeluarkan untuk revitalisasi pabrik-pabrik tua pun akhirnya tak mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Di sisi lain, mengharapkan swasta untuk berinvestasi di pabrik gula nyatanya sulit dilakukan, mengingat banyaknya hambatan dai sisi modal dan bahan baku.
?Kalau dari barang lokal, harga pokok dari petani kan cukup tinggi, jadi ya sudah pasti kalah kalau dengan yang impor,? ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri