Peneliti WHO Mulai Deteksi Fenomena 'Gunung Es' Virus Corona
Para peneliti di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat memprediksi bahwa kasus penularan penyakit akibat virus corona baru (Covid-19) yang tercatat selama ini hanya pucuk dari fenomena 'gunung es'. Metode deteksi baru yang diberlakukan otoritas kesehatan di Hubei mengindikasikan bahwa prediksi itu benar adanya.
Sepanjang Rabu (12/2/2020) hingga Kamis (13/2/2020) tercatat lonjakan kasus perhari mencapai 15.407 kasus. Jumlah itu jauh lebih banyak dari lonjakan per hari paling tinggi sebelumnya sebanyak 3.925 kasus pada 4 Februari lalu.
Baca Juga: WHO: Wabah Corona Bisa Menyebar ke Segala Arah
Dengan lonjakan penularan kemarin, jumlah total kasus Covid-19 mencapai 60.326 kasus di seluruh dunia, 59.823 kasus di antaranya di China.
Lonjakan drastis juga tercatat pada jumlah kematian. Sebanyak 253 kematian tercatat, kemarin.
Jumlah itu lebih dari dua kali lipat angka kematian perhari paling tinggi sebelumnya, yakni sebanyak 108 kematian pada 10 Februari. Sebagian besar kematian tersebut tercatat di Provinsi Hubei, tempat virus korona baru itu berasal.
Pejabat kesehatan di Hubei mengatakan, lonjakan angka-angka tersebut sehubungan diterapkannya metode baru pemindaian Covid-19, kemarin. Pada pekan lalu, mereka menyatakan akan mulai mengenali hasil pemindaian terkomputerisasi (CT) sebagai konfirmasi infeksi, yang memungkinkan rumah sakit untuk mengisolasi pasien lebih cepat.
Hubei sebelumnya hanya mengizinkan konfirmasi infeksi dengan tes RNA yang dapat memakan waktu berhari-hari untuk memproses identifikasi yang akhirnya dan menunda pengobatan. RNA atau asam ribonukleat ini membawa informasi genetik yang memungkinkan identifikasi organisme seperti virus.
Dengan menggunakan CT scan yang mengungkap infeksi paru-paru akan membantu pasien menerima pengobatan sesegera mungkin. Cara ini pun dapat meningkatkan peluang pemulihan lebih besar.
Spesialis politik China di Sekolah Kebijakan & Strategi Global di UC San Diego Victor Shih menyatakan, lompatan mendadak dalam kasus-kasus baru menimbulkan pertanyaan tentang komitmen China terhadap transparansi.
"Penyesuaian data hari ini membuktikan tanpa keraguan bahwa mereka telah memiliki dua digit angka untuk dikonfirmasi terinfeksi selama ini," katanya.
Shih mengatakan, kalau bukan itu masalahnya, pemerintah tidak mungkin menambahkan begitu banyak kasus baru dalam satu hari.
"Aspek yang sangat mengganggu dari jumlah baru hari ini adalah bahwa sebagian besar kasus baru terjadi di Wuhan, tetapi bagaimana jika sisa dari Provinsi Hubei masih tidak menyesuaikan metode pelaporan mereka?" ujar ia menanyakan.
Baca Juga: Diprediksi, WHO: Butuh 18 Bulan Ciptakan Vaksin Corona Baru
Bersamaan dengan lonjakan laporan kasus dan kematian kemarin, kantor berita Xinhua melaporkan, kepala Partai Komunis China di Provinsi Hubei dipecat dari jabatannya. Hal ini merupakan pemecatan terbaru dalam barisan pejabat lokal.
Mengutip komite pusat partai, Wali Kota Shanghai Ying Yong telah ditunjuk sebagai sekretaris baru Komite Provinsi Hubei dari Partai Komunis China untuk menggantikan Jiang Chaoliang. Sebelumnya, ketua Partai Komunis Cina dari Komisi Kesehatan Hubei, Zhang Jin; dan direkturnya, Liu Yingzi, juga diganti.
Pada Kamis (13/2/2020), Kementerian Kesehatan Jepang juga mengumumkan, 44 orang lagi di kapal pesiar yang dikarantina di Pelabuhan Yokohama, dekat Tokyo, telah dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Sebanyak 218 orang dari 3.700 penumpang dan awaknya, dinyatakan terinfeksi virus korona.
Menteri Kesehatan Katsunobu Kato mengatakan kepada wartawan, lima dari pasien yang sudah dikirim ke rumah sakit untuk isolasi, dan menjalai perawatan intensif.
Sementara itu, di kapal tersebut ada 75 awak kapal berbangsa Indonesia. Namun, dalam pemeriksaan intensif mereka tidak terpapar Covid-19.
Depresi
Ratusan layanan hotline telepon untuk konseling kesehatan mental terus berdering selama 24 jam di China dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah warga mulai merasa resah, karena wabah virus korona yang tak kunjung usai.
Sebuah survei oleh Chinese Psychology Society yang diterbitkan media pemerintah pada pekan lalu menemukan bahwa dari 18 ribu orang yang disurvei, 42,6 persen tidak merasa cemas atau stres dengan wabah virus corona.
Sementara itu, 5.000 orang dievaluasi untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD). Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,5 persen memiliki gejala PTSD.
Layanan hotline tersebut adalah bagian dari respons tingkat pertama pemerintah untuk menangani dampak psikologis dari keadaan darurat kesehatan. Strategi ini pertama kali digunakan setelah gempa bumi di Sichuan pada 2008 yang menewaskan 87.150 orang.
Komisi Kesehatan Nasional mengatakan, lebih dari 300 hotline telah diluncurkan di seluruh negeri untuk memberikan dukungan terhadap kesehatan mental terkait dengan coronavirus. Layanan tersebut didukung oleh departemen psikologi universitas, layanan konseling, dan LSM.
Baca Juga: WHO Akui Indonesia Mampu Deteksi Virus Corona Baru
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), China hanya memiliki 2,2 psikiater untuk setiap 100 ribu orang. Jumlah tersebut lima kali lebih sedikit daripada di Amerika Serikat (AS).
Seorang psikolog yang berbasis di Shanghai, Cheng Qi, mengatakan, sebuah hotline nasional yang dijalankan oleh Beijing Normal University kewalahan menerima telepon dari warga setempat.
Cheng mengatakan, ada salah satu penelepon yang mengalami depresi kronis. Penelpon itu menyatakan bahwa dia memiliki keinginan untuk bunuh diri karena dipicu oleh berita buruk terkait wabah virus corona.
"Ini bukan virus (yang menyebabkan depresi), tetapi virus yang merangsang itu (depresi)," ujar Cheng.
Seorang psikoterapis di Tsinghua University, Xu Wang, yang bekerja dengan hotline resmi di Kota Beijing mengatakan, ada tantangan besar bahwa banyak warga yang mengalami kecemasan akibat wabah virus corona. Penelepon kerap memiliki masalah somatik.
"Penelepon sering memiliki masalah somatik, dan mungkin berkata, 'Saya tidak bisa makan dengan baik, tidak bisa tidur nyenyak, dan saya ingin tahu apakah itu infeksi virus'," ujar Xu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto