Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Duh Kaget, Kepala Daerah Kok Sering Ngelawan Jokowi?

        Duh Kaget, Kepala Daerah Kok Sering Ngelawan Jokowi? Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan/Pool
        Warta Ekonomi -

        Perbedaan pendapat tak hanya terjadi di jajaran pemerintah pusat. Bahkan sekarang, kepala daerah sering ngelawan presiden. Sejumlah kebijakan yang diambil pusat ditentang oleh daerah. Kondisi seperti ini, baik atau buruk ya?

        Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan jadi salah satu kebijakan yang ditentang. Kepala daerah terang-terangan mengambil sikap berseberangan dengan presiden.

        Wali Kota Serang Syafrudin salah satunya. Ia menilai keputusan itu kurang tepat dilakukan saat ini. Sebab, kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

        "Jangankan menambah iuran BPJS, masyarakatnya saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari susah," kritik Syafrudin, belum lama ini.

        Tak hanya Syafudin, Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo ikut menyuarakan penolakan terhadap keputusan presiden tersebut. Eks patner Presiden Jokowi saat memimpin Solo ini menyebut kenaikan BPJS sangat tidak peka dengan kondisi masyarakat.

        Politisi PDIP ini mengaku, daerahnya terbebani hingga terpaksa mengutang karena hanya mampu membayar premi sampai Mei 2020. Sisanya, iuran untuk bulan Juni sampai Desember, baru bisa dibayar tahun depan.

        Hitungan Rudy, Pemkot harus merogoh anggaran Rp6 miliar perbulan untuk membiayai sekitar 140 ribu jiwa peserta BPJS. Ia khawatir, jumlah penerima bantuan iuran (PBI) dari Pemkot akan meningkat karena semakin banyak warga yang tidak mampu mem bayar iuran BPJS kesehatan secara mandiri.

        "Masyarakat lagi sengsara, mau mengurus makan saja susah, ada kenaikan BPJS," sentil suksesor Jokowi di Solo itu, belum lama ini.

        Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga ikut angkat bicara. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi merupakan kebijakan yang tidak populer dan cukup berisiko secara politik.

        "Tindakan yang cukup berisiko secara politik," nilai Ganjar.

        Bukan hanya BPJS, masalah penanganan corona juga kerap kali menimbulkan perbedaan. Presiden Jokowi yang mengambil istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar sempat tidak diikuti oleh daerah. Wali kota Tegal misalnya, tetap ngotot menerapkan lockdown. Sementara Tasikmalaya, Kalimantan Timur, memakai diksi yang lebih halus, yakni local lockdown.

        Sedangkan Solo menggunakan istilah semi lockdown. Lainnya, seperti Maluku memilih kebijakan menutup jalur penerbangan dan pelayaran selama 14 hari.

        Walikota Sorong Lambert Jitmau bahkan nekad melawan larangan Jokowi. Atas penolakannya tersebut, Lambert mengaku siap dipenjara. Ia tetap memilih opsi lockdown karena tidak ingin warganya terpapar Covid-19.

        "Jangankan satu tahun, lima tahun saya (berani) masuk. Tapi rakyat ini, kalau selamat, aman," tantangnya, awal April lalu.

        Dalam waktu yang hampir bersamaan, Bupati Mamberamo Tengah (Mamteng) Ricky Ham Pagawak juga enggan berubah sikap soal lockdown. "Jangan bicara sembarangan di Jakarta sana. Ini rakyat kami, tanah kami, dan negeri kami!" tegasnya.

        Pengamat Politik Hendri Satrio punya penilaian atas kondisi ini. Kata dia, semakin banyaknya kepala daerah yang berani melawan Presiden Jokowi, khususnya selama pandemi Covid-19 diduga karena jalur komunikasi yang terhambat. Bisa juga karena arogansi, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

        Menurutnya, daerah maupun pusat harus menurunkan ego sektoralnya untuk kepentingan bangsa. Silang sengkarut antara raja besar dan raja raja kecil ini harusnya bisa diselesaikan lewat musyawarah dan mufakat.

        Namun diakui, pembicaraan tatap muka di tengah pandemi Covid-19 saat ini sulit dilakukan. Karena itu, delay komunikasi kerap terjadi. Jika dibiarkan, fenomena kepala daerah melawan presiden ini bisa berakibat buruk.

        "Secara hirarki pemerintahan tidak bagus. Tapi secara demokrasi sih bagus bagus aja," kata Hensat, sapaan akrabnya.

        Pendiri lembaga survei KedaiKOPI ini juga menilai kepala daerah, khususnya yang berlatar belakang partai pendukung Jokowi tidak mau ambil risiko terhadap kebijakan-kebijakan tidak populis pemerintah akhir-akhir ini.

        "Jokowi ini kan terakhir masa jabatannya, jadi kalau tidak populis semua lari. Misalnya, enggak turunin BBM tapi naikkan BPJS Kesehatan," pungkasnya,

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: