Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Republik Tak Akan Bubar Cuma Gara-Gara...

        Republik Tak Akan Bubar Cuma Gara-Gara... Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi -

        Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta KPU, pemerintah, dan DPR mengkaji ulang jadwal pilkada yang akan digelar Desember 2020. Pasalnya, jumlah kasus Covid-19 di sejumlah daerah belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

        Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengaku bahwa hingga saat ini banyak provinsi, kota, maupun kabupaten masih zona merah. Hal ini dibuktikan dengan belum turunnya kurva kasus covid secara nasional.

        "Kurvanya belum menurun. Malah di sebagian daerah menunjukkan tren naik," kata Nyalla dalam keterangan tertulis.

        Nyalla mencontohkan Jawa Timur. Provinsi dibawah kendali Khofifah Indar Parawansa ini menunjukkan Covid-19 mengalami lonjakan. Bahkan, Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 10 Jatim Joni Wahyuhadi khawatir Kota Surabaya bisa jadi seperti Kota Wuhan, China.

        "Penyebaran kasus di Surabaya sangat cepat. Sebanyak 65 persen dari total angka kasus Jatim disumbang dari Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Sedangkan Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik akan menggelar pilkada," jelasnya.

        Senator asal Jatim ini juga mengatakan, sudah ada mekanisme untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya tetapi belum terpilih yakni menunjuk pelaksana tugas (Plt) untuk menjalankan pemerintahan daerah.

        "Republik ini tidak akan bubar hanya karena pilkada ditunda," kata dia.

        Justru, kata Nyalla, masyarakat semakin menderita jika wabah tidak segera berakhir. Pemerintah sebaiknya fokus menangani wabah dan dampaknya bagi masyarakat. Nyalla mengatakan anggaran pilkada semestinya ditunda dan dialihkan untuk penanganan pandemi.

        Jika pilkada tetap digelar 9 Desember 2020, KPU sebaliknya malah memerlukan tambahan anggaran Rp535,9 miliar untuk pengadaan alat pelindung diri di antaranya untuk membeli masker bagi 105 juta pemilih, sebesar Rp263,4 miliar. Untuk alat kesehatan bagi petugas di TPS dan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih sebesar Rp259,2 miliar, serta Rp10,5 miliar untuk alat kesehatan bagi PPS dan Rp2,1 miliar untuk PPK.

        Anggota DPD Intsiawati Ayus juga menilai rencana penyelenggaraan Pilkada serentak pada Desember 2020 terlalu dipaksakan. Padahal, jika tetap dilakukan maka gelaran hajat demokrasi itu akan berlangsung di tengah situasi yang tidak menentu dan belum kondusif akibat Covid-19.

        "Rencana Pilkada serentak 2020 ini seperti pemerkosaan politik. Kenapa? Karena ini sebuah keputusan yang dilakukan dengan memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan dengan matang atas situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan saat wabah Covid masih belum bisa dikendalikan," ujarnya.

        Iin mengingatkan bahwa saat pilkada serentak berlangsung dalam situasi normal saja masih terjadi berbagai persoalan. Baik berupa ketegangan sosial akibat persaingan massa antar-kandidat, potensi money politics, kecurangan penyelenggaraan pemungutan suara, perusakan alat peraga kampanye, dan lain sebagainya.

        Bahkan juga pernah terjadi kecurangan yang mengakibatkan dilakukan pengulangan pemungutan suara.

        "Siapa yang bisa menjamin proses kampanye dengan berkerumunnya massa tidak terjadi penularan Covid-19? Apakah ada jaminan proses pengawasan saat pemungutan suara sejak dari TPS hingga KPUD bisa dilakukan secara normal," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: