Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Laboratorium di Dunia Ramai-ramai Kembangkan Vaksin Corona, Lalu Siapa yang Lebih Dulu Dapat?

        Laboratorium di Dunia Ramai-ramai Kembangkan Vaksin Corona, Lalu Siapa yang Lebih Dulu Dapat? Kredit Foto: IStockPhoto/Manjurul
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Untuk kembali menggerakkan dunia dan memulai perjalanan internasional, para ahli mengatakan diperlukan 15 miliar dosis vaksin COVID-19. Hampir mustahil untuk mendistribusikan vaksin sebanyak itu sekaligus.

        Jadi, siapa yang kemungkinan besar pertama kali mendapatkan vaksin tersebut? Berapa lama lagi kita harus menunggu?

        Baca Juga: Di Asia Tenggara, Indonesia Tercatat Punya Kenaikan Kasus Virus Corona Paling Tinggi

        Sekitar 120 laboratorium di seluruh dunia saat ini sedang mengembangkan vaksin COVID-19, salah satu di antaranya dikembangkan oleh Australia dengan dipimpin oleh University of Queensland.

        Dari sekian banyak usaha pengembangan vaksin, menurut catatan Asosiasi Perusahaan Farmasi Internasional (IFPMA) ada 12 kandidat yang berada di tahapan yang lebih maju di banding lainnya.

        "Saya pikir dalam sejarah pengembangan vaksin, kita belum pernah melihat sebanyak ini laboratorium dan perusahaan yang berusaha menemukan vaksin untuk satu jenis penyakit yang sama," kata Thomas Cueni, Kepala IFPMA.

        Para kandidat yang terdepan ini sudah mulai masuk ke tahap pengetesan ke manusia. Idealnya, menurut ahli bioetik dari Johns Hopkins University, Jonathan Moreno, vaksin baru ini akan dites pada ribuan orang sebelum diluncurkan ke populasi yang lebih luas.

        "Teorinya, Anda bisa melakukan pengetesan 20.000 vaksin dan 10.000 placebo sehingga tidak ada yang tahu apa yang mereka dapatkan saat dites," kata Profesor Jonathan Moreno.

        "Dan kita bisa melihat hasilnya dalam enam, delapan, atau 10 bulan setelahnya. Tetapi dunia ini tidak mau menunggu selama itu."

        Profesor Jonathan mengatakan, ada cara untuk menghindarinya karena beberapa laboratorium yang melibatkan pengetesan pada binatang dan manusia secara simultan bisa mempercepat proses penemuan vaksin, meskipun penuh kontroversi.

        "Anda mungkin mau mengetes vaksin ini pada hewan lebih dulu sebelum mengetesnya pada manusia. Namun kita memiliki jadwal yang sedemikian rupa ketat sehingga kita melakukannya secara paralel pada hewan dan manusia," katanya.

        Apapun jalan yang dipilih, menurut para ahli kita sudah akan bisa melihat vaksin ini diluncurkan pada akhir tahun 2020 atau awal 2021.

        "Kemungkinan akan ada vaksin, yang dilihat dari tingkat keamanannya, sudah bisa diterima oleh banyak orang pada akhir tahun ini. Jadwalnya memang sangat cepat, dan semua orang setuju akan hal itu," kata Profesor Jonathan.

        Mungkinkah ada vaksin "kejutan"?

        Karena banyak tempat di dunia sudah berhasil meratakan kurva pandemi COVID-19, mungkin dalam waktu dekat tidak akan lagi virus yang secara alamiah akan menulari manusia.

        Beberapa pendapat mengatakan kita bisa melakukan penelitian tantangan yang kontroversial, yakni dengan secara sengaja menularkan para sukarelawan dengan virus tersebut.

        "Saya pikir ada kekhawatiran serius dengan melakukannya, jika dilihat dari sisi keselamatan, risiko, dan pertanyaan etis," kata Thomas Cueni.

        "Masalahnya, jika tidak ada jalan lain, maka penelitian tantangan tadi mungkin adalah satu-satunya opsi yang bisa dilakukan."

        Profesor Jonathan memperkirakan dengan iklim politik saat ini di Amerika Serikat akan mempercepat peluncuran vaksin COVID-19.

        "Saya tidak akan terlalu kaget jika Pemerintahan Trump akan mengumumkan vaksin yang hanya melalui beberapa studi advokasi dengan kelompok yang lebih kecil dan sebelum hari pemilihan pada bulan November," katanya.

        Tetapi Thomas Cueni mengingatkan membuat vaksin secara tergesa-gesa dapat menghalangi kepercayaan publik terhadap obat-obatan dan mendorong gerakan antivaksin.

        "Jika ada sesuatu yang salah dengan vaksin tersebut, Anda bisa secara luar biasa merusak kepercayaan publik terhadap vaksinasi dan imunisasi," katanya.

        Berapa banyak dosis yang kita perlukan?

        Ini angka yang "membingungkan", kata Thomas Cueni. "Kalau Anda ingin menciptakan herd immunity, pada dasarnya Anda berusaha untuk membuat 80 persen dari populasi menjadi imun."

        "Dan dengan asumsi bahwa kita memerlukan dua dosis daripada satu dosis, saya melihat kisaran angka 12 sampai 15 miliar dosis."

        Profesor Jonathan Moreno mengatakan mencapai "herd immunity" adalah yang diinginkan.

        "Untuk membuat dunia bergerak lagi dan membuat orang nyaman dengan perjalanan, Anda perlu memvaksinasi semua orang," katanya.

        Departemen Kesehatan mengatakan kepada ABC jika "tujuan strategis" Australia adalah mencapai herd immunity dalam rangka memutuskan rantai penularan di masyarakat.

        CEO Medicines Australia Elizabeth de Somer mengatakan satu vaksin tidak akan memotong "herd immunity".

        "Saya pikir dunia akan membutuhkan lebih dari satu untuk dapat diproduksi dalam skala dan besaran yang diperlukan untuk memvaksinasi dunia," katanya.

        IFPMA memperkirakan kapasitas produksi vaksin global saat ini mencapai lima miliar dan dibutuhkan antara lima hingga 10 tahun untuk membangun pabrik pembuatan vaksin baru.

        Sudah jelas mustahil memvaksinasi populasi global sekaligus karena tidak ada cukup botol di dunia untuk menyimpan vaksin ini.

        "Semua orang setuju bahwa seseorang perlu membicarakan tentang alokasi, siapa yang akan mendapat vaksinasi terlebih dahulu," kata Thomas.

        Standalone Cases Graphic Embed Siapa yang akan berdiri paling depan di barisan antrean?

        Mengembangkan vaksin saja sudah merupakan hal yang sulit, namun memproduksinya secara massal akan jauh lebih sulit, menurut Profesor Jonathan.

        "Sesungguhnya, tidak ada pabrik yang dapat memproduksi miliaran dosis. Sehingga akan ada tahapan yang harus dilalui dan akan ada orang-orang yang lebih dulu menggunakannya."

        Para ahli berpendapat vaksin ini seharusnya digunakan terlebih dahulu oleh anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori rentan.

        "Tidaklah sulit untuk mengetahui siapa kelompok golongan rentan ini. Umumnya adalah generasi tua dan orang-orang yang menderita penyakit diabetes atau tekanan darah tinggi," kata Profesor Jonathan.

        "Dan pekerja di bidang essential [atau penting], militer, polisi, pemadam kebakaran. Barulah setelah itu orang-orang lain."

        Menurut pernyataan dari Departemen Kesehatan Australia, percakapan tentang penentuan kelompok yang diprioritaskan dan bagaimana cara menyalurkan vaksin masih berlangsung.

        "Seiring bermunculannya dengan kandidat vaksin yang menjanjikan, keputusan tentang pelaksanaan program imunisasi nasional [di Australia] akan ditentukan oleh Kabinet Nasional, berdasarkan anjuran dari Komite Pimpinan Perlindungan Kesehatan Australia," bunyi pernyataan tersebut.

        "Keputusan akan dibuat berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang ada, analisa risiko pada kelompok rentan secara relatif, dan juga persediaan vaksin di waktu tertentu."

        Akankah ada elitisme?

        Professor Jonathan meyakini negara-negara "elit" adalah yang akan terlebih dahulu mengakses vaksin ketika sudah mulai beredar.

        "Negara kelas atas —mereka ada di posisi terbaik. [Semuanya akan] mengikuti di mana uang berada," kata dia.

        "Sudah mulai terlihat yang namanya nasionalisme vaksin dan hal ini cukup meresahkan."

        "Idealnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menetapkan pedoman yang dapat berlaku secara global, namun, menurut perkiraan saya, hal ini tidak akan terjadi sekarang," kata dia, merujuk pada hubungan Presiden AS Donald Trump dengan organisasi tersebut yang kurang baik.

        Thomas mengatakan dunia sudah belajar dari kejadian di tahun 2009, di mana "negara kaya" membeli vaksin H1N1 atau flu babi, sehingga menelantarkan "negara miskin".

        "Ini adalah sesuatu yang memicu pertumpahan darah," kata dia. "Menurut saya kini sudah muncul pemahaman bahwa kita harus mengutamakan unsur solidaritas global."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: