Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Awas! Penggundulan Hutan Picu Munculnya 6 Epidemi Baru

        Awas! Penggundulan Hutan Picu Munculnya 6 Epidemi Baru Kredit Foto: Warta Ekonomi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Para ahli berencana memperingatkan PBB bahwa jika penggundulan hutan dan hilangnya biodiversitas terus berlanjut, maka penyebaran penyakit-penyakit baru dari hewan ke manusia akan terjadi.

        Dilansir The Guardian, Selasa (1/9/2020), pada rapat PBB yang akan membahas soal biodiversitas di New York bulan depan, para konservasionis dan para ahli biologi akan membahas tentang adanya bukti kuat antara kerusakan lingkungan dengan meningkatnya penyakit-penyakit baru seperti Covid-19.

        Baca Juga: Cara Menerapkan Gizi Seimbang saat Pandemi Covid-19

        Pasalnya, para ahli mengemukakan bahwa penggundulan hutan besar-besaran, perluasan lahan pertanian dan banyaknya pembangunan tambang di daerah-daerah terpencil bersamaan dengan banyaknya eksploitasi binatang-binatang liar sebagai sumber makanan, obat-obatan tradisional serta hewan-hewan eksotis, membuat sebuah “badai besar” dalam penyebaran penyakit dari hewan ke manusia.

        Bahkan, hampir sepertiga dari semua penyakit yang telah menyebar saat ini ternyata bersumber dari penyalahgunaan lahan. Melihat hal ini, para ahli memprediksi adanya 5 atau 6 epidemi baru per tahunnya yang berimbas pada populasi di Bumi.

        “Sekarang sedang banyak sekali aktivitas-aktivitas seperti pembalakan liar, pembersihan lahan ilegal, pertambangan ilegal, maraknya jual-beli daging dari hewan-hewan langka serta transaksi binatang-binatang peliharaan eksotis yang mana telah mengakibatkan krisis ini,” ujar Profesor Stuart Pimm, seorang konservasionis dari Duke University.

        “Dalam hal Covid-19, pandemi ini telah merugikan banyak negara serta telah membunuh hampir 1 juta manusia, jadi tentunya respon yang cepat perlu dilakukan,” ujarnya lebih lanjut.

        Telah diperkirakan bahwa sebanyak puluhan juta hektar hutan hujan tropis serta lingkungan-lingkungan liar lainnya telah diratakan setiap tahunnya untuk penanaman pohon kelapa sawit, lahan peternakan sapi, ekstraksi minyak bumi serta pertambangan mineral.

        Hal ini dapat menyebabkan hancurnya vegetasi dan kehidupan alam liar secara besar-besaran yang mana berpotensi menyebarkan virus-virus serta bakteri asing yang tak terhitung jumlahnya. Mikroba-mikroba ini berisiko menginfeksi manusia serta binatang ternak. 

        Spillover Penyakit

        Hal ini dapat mengakibatkan sebuah peristiwa yang dinamakan spillover, dimana patogen dari hewan-hewan menginfeksi populasi manusia dalam wilayah tertentu. Apalagi, jika suatu virus tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan penularan terjadi dengan cepat. Transmisi seperti ini dapat memicu munculnya penyakit baru.

        Contoh penyakit yang terjadi karena peristiwa ini adalah virus HIV, yang penularannya dimulai sejak abad ke-20 dari simpanse dan gorila – yang mana hewan-hewan tersebut pada saat itu seringkali dibunuh untuk diperjualbelikan dagingnya di Afrika Barat – sejak saat itu telah menyebabkan menyebarnya virus HIV yang membunuh lebih dari 10 juta orang.

        Contoh lainnya juga demam Ebola, yang berasal dari kelelawar yang menularkan virusnya pada primata dan manusia; flu babi yang sempat geger pada tahun 2009 serta Covid-19 pada saat ini, yang penularannya juga disebabkan oleh kelelawar.

        “Ketika para pekerja datang ke sebuah hutan untuk menebang pohon-pohonnya, mereka tidak membawa bekal makanan,” papar Andy Dobson, seorang profesor ekologi dan biologi evolusi di Princeton University.

        “Mereka hanya perlu memakan hewan-hewan yang ada disana, yang mana itulah yang menyebabkan terjadinya infeksi selama ini,” ia menambahkan.

        “Saya memiliki sebuah foto seorang lelaki yang menyembelih seekor babi liar di dalam hutan di Ekuador. Dia adalah seorang penebang liar. Ia serta rekan-rekannya membutuhkan makanan sehingga mereka membunuh babi itu. Di saat yang bersamaan, mereka juga terkena darah dari babi liar itu. Oleh karena itu, kegiatan kotor dan mengerikan itu dapat memicu penyebaran-penyebaran penyakit seperti ini,” tutur Pimm.

        “Namun, tak semua penyakit ini disebabkan oleh peristiwa spillover dalam skala besar,” ujar David Redding, seorang ahli hewan di University College London.

        “Di tempat-tempat seperti banyaknya pohon yang ditebang, terdapat luasnya ladang, yang dibuat di sekitar lahan pertanian, dan dihiasi oleh hutan tua," ujarnya.

        “Ini dapat meningkatkan hubungan antara alam liar dengan alam yang sudah dipelihara. Hewan-hewan seperti kelelawar, hewan pengerat, dan hama-hama lainnya yang membawa virus-virus baru justru datang dari hutan-hutan dan menginfeksi binatang-binatang ternak – yang mana nantinya akan menularkan infeksi tersebut pada manusia,” tuturnya.

        Sebuah contoh dari jenis penularan ini yaitu penyebaran demam Lassa, yang mana ditemukan pertama kali di Nigeria pada tahun 1969 yang sekarang menyebabkan ribuan kematian per tahunnya.

        Virus ini berasal dari hewan pengerat dengan nama ilmiah Mastomys natalensis, yang penyebarannya terjadi di padang savana Afrika serta hutan-hutan di sana. Namun, sekarang semakin menyebar ke rumah-rumah serta peternakan, menularkan virus ini ke manusia.

        “Poin pentingnya ialah, virus-virus yang ada saat ini jumlahnya 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mamalia,” kata Dobson.

        “Jumlahnya sangat banyak serta kemunculan patogen-patogen baru ini juga tidak dapat dibendung,” ia menambahkan.

        Dulu, kebanyakan penularan penyakit baru hanya berada di tempat-tempat tertentu saja. Namun, seiring dengan murahnya biaya penerbangan mengakibatkan sejumlah penyakit menyebar ke penjuru dunia sebelum para ahli menyadarinya.

        “Penularan penyakit baru yang terus berlanjut ini juga merupakan elemen penting lainnya dalam sebuah peristiwa pandemi,” tutur Profesor james Wood, seorang kepala kedokteran hewan di Cambridge University.

        “Coba bayangkan peristiwa pandemi flu babi, virus tersebut menyebar ke seluruh dunia sebelum kita menyadarinya. Konektivitas global telah ada – dan terus berlanjut dalam penyebaran virus Covid-19 ke seluruh penjuru Bumi,” tambahnya.

        Pengawasan

        Dalam sebuah paper yang dipublikasikan di jurnal Science bulan lalu, Pimm, Dobson, dan para ahli lainnya serta para ahli ekonomi menyarankan sebuah program untuk mengawasi alam liar, menurunkan peristiwa spillover (penularan penyakit dari satwa liar ke hewan domestik atau langsung ke manusia), mengakhiri jual-beli daging dari hewan liar, serta menurunkan jumlah pembalakan liar.

        Program ini diperkirakan akan memakan biaya sebesar lebih dari 291,1 triliun rupiah per tahunnya, yang mana biaya ini juga sudah terdampak oleh kerugian akibat pandemi Covid-19, yang telah merugikan perekonomian dunia sampai triliyunan dolar.

        “Kita memperkirakan bahwa biaya untuk pencegahan selama 10 tahun ke depan ini berada di sekitar 2% dari biaya yang dikeluarkan untuk pandemi Covid-19,” tutur mereka. “Ditambah lagi, menurunkan jumlah penebangan liar, yang merupakan sumber terbesar dari emisi karbon, akan berdampak positif bagi pihak-pihak yang sedang melawan perubahan iklim,” tambah mereka.

        “Tingkatan dari menyebarnya penyakit sedang meningkat dan dampak untuk perekonomian mereka pun juga meningkat,” mereka menambahkan.

        “Menunda-nunda strategi global untuk menurunkan risiko pandemi akan berdampak pada kenaikan biaya. Untuk itu, masyarakat harus berjuang untuk mencegah terjadinya pandemi di masa mendatang,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: