Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ketika Para Ilmuwan Jadi Kelinci Percobaan Vaksin Corona Ilegal

        Ketika Para Ilmuwan Jadi Kelinci Percobaan Vaksin Corona Ilegal Kredit Foto: Creative Commons
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Tidak sabar menunggu vaksin resmi Covid-19, ilmuwan di berbagai negara menggunakan vaksin tidak resmi buatan mereka untuk diri mereka sendiri, dan terkadang, untuk teman dan keluarga mereka.

        Dilansir New York Times, Rabu (2/9/2020), pada April lalu, lebih dari tiga bulan sebelum vaksin virus Corona pertama baru mulai tahap pengujian klinis, wali kota sebuah pulau di daerah Pasifik Barat Laut mengundang teman ilmuwan mikrobiologinya untuk memberinya vaksin.

        Baca Juga: Pengumuman! Erick: Vaksin Gratis Cuma untuk 93 Juta Orang Miskin

        Obrolan undangan tersebut dilakukan melalui halaman Facebook sang wali kota, dan mengejutkan banyak penduduk Friday Harbor yang membacanya.

        “Apakah saya harus datang dan mulai membuat vaksin untukmu?” tulis Johny Stine, pendiri dan pemilik North Coast Biologics, sebuah perusahaan bioteknologi berfokus pada antibodi. Jangan khawatir – saya sudah imun – saya sudah lima kali menggunakan vaksin buatan saya ini.”

        “Boleh juga,” jawab Farhad Ghatan, sang wali kota, setelah menanyakan beberapa hal.

        Beberapa penduduk yang khawatir melaporkan percakapan ini ke berbagai lembaga dan agensi hukum. Di bulan Juni 2020, sang Jaksa Agung negara bagian Washington menuntut Stine, bukan hanya karena memberikan klaim tanpa bukti pada sang wali kota, melainkan juga karena telah memberikan vaksin tidak resmi buatannya pada sekitar 30 orang, dengan harga sebesar 400 dolar (sekitar 6 juta rupiah) untuk setiap vaksinnya.

        Di bulan Mei, Food and Drug Administration (F.D.A) mengirimkan surat peringatan kepada Stine untuk berhenti mempromosikan produknya dengan klaim yang menyesatkan.

        Walaupun taktik promosinya tidaklah lazim, Stine bukan satu-satunya ilmuwan yang membuat vaksin eksperimental virus Corona untuk dirinya sendiri, keluarga, teman, dan pihak lain yang tertarik. Banyak ilmuwan di berbagai belahan dunia juga melakukan hal yang sama, dengan metode, afiliasi, dan klaim yang beragam.

        Usaha pembuatan vaksin lain yang paling bergengsi adalah Rapid Deployment Vaccine Collaborative, atau RaDVaC, yang melibatkan ahli genetik Harvard terkenal George Church diantara 23 ilmuwan yang ikut berkolaborasi dalam usaha tersebut.

        Salah satu proyek pembuatan vaksin virus Corona lain yang paling rahasia adalah CoroNope. Proyek ini menolak menunjukan nama orang yang terlibat. Berdasarkan jawaban pesan dari akun email anonim mereka, banyak ahli biologi yang terlibat tidak ingin mengambil risiko bermasalah dengan FDA atau lembaga lainnya.

        Setiap usaha mandiri ini dimotivasi oleh ide yang sama: Situasi yang darurat memerlukan aksi yang darurat juga. Jika para ilmuwan memiliki kemampuan dan inisiatif untuk membuat vaksin mereka sendiri, menurut mereka, tidak ada salahnya untuk dilakukan.

        Para pendukung ide ini mengatakan selama mereka tidak melebih-lebihkan klaim dan transparan akan proses pembuatannya, kita semua bisa teruntungkan dari apa yang mereka temukan.

        Namun, para pengkritik berpendapat bahwa walaupun tujuannya baik, para ilmuwan ini kemungkinan tidak akan menemukan hal yang bermanfaat. Pasalnya, vaksin mereka tidak melewati pengujian ketat yang diperlukan.

        Ditambah lagi, menggunakan vaksin tersebut dapat berbahaya – entah karena reaksi imun yang berlebihan dan efek samping lain, atau rasa aman palsu yang diberikan vaksin tersebut.

        "Kamilah hewan percobannya"

        Usaha pembuatan vaksin RaDVac, pertama kali dilaporkan oleh MIT Technology Review, berbeda dengan proyek Stine dalam dua hal penting. Tidak ada rencana untuk memungut bayaran.

        Dan tidak seperti kata-kata berlebihan yang Stine lontarkan di Facebook, RaDVaC memiliki 59 halaman dokumen ilmiah yang menjelaskan bagaimana vaksinnya bekerja. Dokumen ini juga bertujuan menuntun ilmuwan lain yang mungkin ingin membuat formula vaksin mereka sendiri.

        Tetapi, dorongan yang memotivasi pembuatan kedua vaksin tersebut tetap sama. Maret lalu, ketika Preston Estep, seorang ilmuwan genom membaca mengenai korban tewas karena pandemi, ia berjanji untuk tidak duduk diam saja.

        Ia mengirim email pada ahli kimia, ahli biologi, profesor dan dokter yang ia kenal; menanyakan apakah mereka tertarik untuk membuat vaksin mereka sendiri. Tidak lama kemudian, mereka telah membuat sebuah formula vaksin peptida yang dapat digunakan dengan cara menyemprotkannya ke hidung.

        Di akhir April lalu, Dr Estep mencoba vaksin tersebut bersama dengan ilmuwan lainnya dengan cara menyemprotkannya ke hidung mereka. Dr Church, mentor akrab Dr Estep, mengatakan ia mencobanya sendiri di kamar mandi supaya tetap mengikuti prosedur social-distancing.

        Prosedur pembuatan obat biasanya dimulai dengan penelitian efek yang muncul pada tikus atau hewan lain. Untuk RaDVaC, ujar Dr Estep, “kamilah hewan percobaannya.”

        Tetapi, tanpa pengujian klinis yang ketat, kata Dr August, tidak ada cara pasti untuk mengetahui apakah vaksin tersebut aman dan efektif. Ia menuturkan bahwa ia takut prestasi gemilang para ilmuwan ini malah berarti sebaliknya.

        Untuk minggu lalu, lanjut Dr Estep, sekitar 30 orang di Amerika, Swedia, Jerman, Cina dan Inggris telah menggunakan vaksin buatan sendiri. Ia menuturkan bagaimana seorang profesor universitas di Brazil mengatakan bahwa ia tertarik untuk membuat vaksin tersebut sendiri di labnya dan mengedarkannya dengan gratis.

        Vaksin lewat Facebook

        Terdapat sejarah panjang mengenai ilmuwan yang menguji vaksin pada diri mereka sendiri dan juga anak mereka, tetapi akhir-akhir dekade ini praktik tersebut jarang dilakukan, ujar Susan E. Lederer, sejarawan medis di University of Wisconsin-Madison.

        Apa yang secara etis dan hukum dapat diterima dalam hal menguji dan mengedarkan produk medis anda sendiri itu berbeda-beda, tergantung institusi dan negara yang bersangkutan.

        Masalah dari produk milik Stine adalah, menurut Jaksa Agung negara bagian Washington Bob Ferguson, bukan karena ia menggunakannya.

        Tetapi, akibat ia “menjual ‘vaksin’ ini pada orang-orang di Washington yang sedang ketakutan dan cenderung mencari obat ajaib ditengah pandemi global ini,” ujarnya dalam gugatan terhadap Stine. Gugatan tersebut juga mengutip klaim-klaim Stine mengenai keamanan dan efektifitas yang tidak didukung bukti apapun.

        Bulan Maret lalu, beberapa bulan setelah Stine mengatakan bahwa ia telah memvaksinasi dirinya dan dua anak lelakinya, ia mengunggah sebuah iklan di halaman Facebook North Coast Biologics. Setelah puluhan tahun bekerja dengan antibodi, menurutnya membuat vaksin “itu mudah sekali,” ujar Stine ketika diwawancara.

        Dalam iklan promosi di Facebooknya, ia mengklaim bahwa vaksin yang ia buat membuatnya imun dari virus Corona. Ia juga menawarkan vaksin tersebut pada “pihak-pihak yang tertarik” dengan harga 400 dolar (sekitar 6 juta rupiah) perorang.

        Sebagai bagian dari kontrak yang Stine akhirnya buat dengan para jaksa, ia harus mengembalikan uang dari 30 orang yang telah membeli vaksin buatannya tersebut.

        Wali Kota Friday Harbor mengatakan bahwa ia menyesal merespon pesan Stine lewat halaman Facebooknya, ketimbang secara pribadi. Tetapi, menurutnya ia tidak perlu meminta maaf hanya karena menerima formula temannya itu dengan gratis. “Saya lebih memilih memiliki sedikit perlindungan daripada tidak sama sekali dan terus menunggu dan menunggu,” ujar Ghatan.

        Meskpun begitu, ia mengatakan kontroversi tersebut telah mengacaukan rencana mereka untuk bertemu. Tetapi jika nanti ada kesempatan lain, “Saya akan mengambilnya,” ujar sang Wali Kota seperti dikutip New York Times, Rabu 2 September 2020.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: