Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mini-Lockdown, Tapi Disiplin Harus Maksimal

        Mini-Lockdown, Tapi Disiplin Harus Maksimal Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden Joko Widodo sempat mengatakan beruntung Indonesia tidak mengambil kebijakan lockdown. Indonesia lebih memilih PSBB. Meskipun begitu, seperti yang kita ketahui, kebijakan PSBB itu pun ternyata berdampak cukup besar pada perekonomian nasional. 

        Kalau melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode April-Juni 2020 (Q2), saat itu sejumlah provinsi memberlakukan PSBB di wilayah masing-masing dengan cakupan yang bervariasi sesuai kebutuhan mereka, sektor lapangan usaha nasional yang paling terganggu adalah transportasi dan pergudangan.

        Pertumbuhan sektor ini pada kuartal II (Q2) mengalami kontraksi sangat tajam dibanding triwulan yang sama tahun 2019, yakni tumbuh -30,84%. Sedangkan, jika dibandingkan kuartal I (Q1) 2020 terjadi penurunan sebesar -29,22% (QtQ).

        Baca Juga: Gerindra DKI Lebih Dukung Mini-lockdown Ala Jokowi, PSBB Anies Diperpanjang

        Secara keseluruhan pertumbuhan PDB Indonesia pada Q2 turun menjadi -5,32% (YoY). Dan kuartal ketiga (Q3), menurut perhitungan Kementerian Keuangan akan kembali minus yang membuat Indonesia bakal memasuki masa resesi. Karena itu wajar Kabinet Indonesia Maju khawatir ketika menanggapi rencana Pemda DKI yang akan memberlakukan PSBB pada 14 September yang kemudian diperpanjang hingga 11 Oktober 2020.

        Sektor Ekonomi Paling Terpengaruh PSBB di Indonesia

        Sektor Lapangan Usaha QI-2020 Terhadap QIV-2019 (q-to-q) QII-2020 Terhadap QI-2020 (q-to-q)
        Transportasi dan Pergudangan -6,37% -29,22%
        Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum -3,54% -22,31%
        Jasa Lainnya -1,19% -15,12%
        Jasa Perusahaan -2,28% -14,11%
        Jasa Keuangan dan Asuransi 5,34% -10,32%

        Sumber: BPS/Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2020

        Secara nasional, Indonesia mulai memasuki masa genting ketika kasus pertama diumumkan 2 Maret 2020. PSBB mulai dilaksanakan pada 10 April 2020 di DKI Jakarta untuk waktu 14 hari. Disusul kemudian Jawa Barat (Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok), Banten (Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang), dan Riau (Kota Pekanbaru) yang dimulai 12 April 2020.

        Lalu Sulawesi Selatan (Makassar) mulai 16 April 2020. Kemudian Jawa Barat memperluas PSBB-nya mulai 17 April dengan menambahkan Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang. Disusul Jawa Tengah dan Sumatera Barat dimulai pada hari yang sama.

        Jawa Timur yang kemudian menjadi provinsi terdampak terbesar kedua setelah DKI, mulai melaksanakan PSBB pada 21 April 2020 yang meliputi Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik. Provinsi ini memperluas PSBB-nya pada 11 Mei dengan meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Dan seterusnya diikut provinsi-provinsi  lain.

        Kekhawatiran kita adalah, kenapa kasus harian Covid-19 di Indonesia justru melonjak? Sepuluh hari terakhir September 2020, berdasarkan data yang dipublikasikan di Covid19.go.id, kasus hariannya rata-rata sudah melebih 4.200 kasus.

        Memang itu merupakan konsekuensi dari makin masifnya tes Covid-19 di masyarakat. Akan tetapi, idealnya, makin banyak tes dilakukan makin tahu peta, daerah mana yang rawan. Ketika zona merah makin jelas detailnya, seharusnya makin tahu apa yang harus dilakukan.

        Presiden Jokowi kini memunculkan istilah baru untuk menanganinya yakni mini-lockdown. Mini-lockdown, seperti dituturkan Presiden, diterapkan pada wilayah yang lebih kecil dimulai dari setingkat desa, kampung, RT/RW, kantor, ponpes, dan sebagainya.

        Mungkin ini lebih kompromistis dari segi penanganan kesehatan dan penanganan ekonomi. Dengan lockdown yang meliputi skala mikro, pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi wilayah yang lebih besar seperti kabupatan/kota atau provinsi bisa diminimalisasi. RW satu boleh di-lockdwon, tapi di RW sebelahnya, ekonomi jalan terus dengan protokol kesehatan.

        Lockdown vs PDB Minus

        Sebelum ini kita sedikit alergi terhadap lockdown. Ketika negara-negara lain, yang lebih dulu terkena pandemi Covid-19 dan menerapkan lockdown, Indonesia lebih memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

        Menurut Presiden Jokowi, PSBB merupakan kebijakan yang bersifat membatasi kegiatan di tempat-tempat dan fasilitas umum dengan cara membatasi jumlah orang dan pengaturan jarak antar-orang. Sedangkan, lockdown, seperti dikemukakan sejumlah pendapat, adalah mengunci suatu wilayah dari keluar-masuknya warga untuk mengisolasi wabah agar tidak menular ke tempat lain. Jadi, PSBB pada dasarnya soft lockdown atau lockdown yang sedikit longgar. 

        Kini kita mengetahui, negara-negara yang menerapkan lockdown sekitar Maret-Mei 2020, satu per satu sudah memasuki masa resesi. Bahkan negara-negara G7 yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Kanada sudah terjerumus ke jurang resesi sejak akhir semester pertama 2020. Hanya Jepang, anggota G7 yang tidak melakukan lockdown, tetapi mengalami resesi juga.

        Di negara-negara itu puncak pandemi terjadi dua kali, setidaknya hingga sejauh ini, dan tentu kita berharap tidak akan ada puncak ketiga. Di AS, penambahan kasus positif Covid-19 harian mencapai puncaknya untuk gelombang pertama terjadi pada awal April hingga awal Mei 2020 dengan kasus harian tertinggi di atas 34 ribu kasus. Pertengahan Mei hingga menjelang akhir Juni 2020 terjadi tren menurun kendatipun tidak benar-benar turun karena kasus hariannya masih tinggi yakni sekitar 20.000-an setiap hari.

        Lalu kembali naik di awal Juli dan mencapai puncak kedua pada pertengahan Juli hingga akhir Juli dengan penambahan kasus per hari mencapai lebih dari 70 ribu. Hingga akhir September 2020 kasus hariannya masih di atas 30.000 per hari. Pandemi Covid-19 di AS sama sekali belum mereda.

        Beberapa negara bagian AS mulai melakukan lockdown menjelang akhir Maret 2020 untuk durasi yang bervariasi. Ketika itu ekonomi AS sudah terkontraksi. Pada kuartal I (Q1) 2020, pertumbuhan PDB AS turun -1,3% dibanding kuartal sebelumnya, disusul pada kuartal II (Q2) yang kembali turun lebih parah lagi hingga -9,7%. Dibanding periode yang sama tahun 2019, PDB AS anjlok sebesar -32,9% pada Juni 2020. Anjloknya pertumbuhan ekonomi AS sedalam itu merupakan resesi terburuk sejak 1921.

        Inggris Raya (UK) juga menghadapi hal yang tak kalah parah. Masa-masa kasus harian tertinggi di UK terjadi April dan awal Mei 2020 dengan kasus harian tertinggi di atas 4.500 kasus hingga 7.800 kasus. Sempat menurun selama Juni hingga awal Agustus, namun melonjak lagi di awal September 2020 dan akhir September mencapai di atas 6.000 kasus per hari.

        Lockdown di UK dimulai 23 Maret 2020 dan berakhir di Juni 2020. Ekonomi UK pada Q1 anjlok -1,7% dan pada Q2 (QtQ) turun lagi menjadi -20,4%. Dibanding tahun sebelumnya ekonomi UK turun -21,7%. UK pun mengalami resesi.

        Prancis, Jerman, Italia, dan Kanada setali dua uang. Negara-negara ini mengalami puncak pandemi pada pertengahan Maret hingga awal April, lalu sempat menurun cukup drastis pada Mei-Juli, namun kembali meningkat di September 2020. Lockdown diberlakukan pada kisaran akhir Maret hingga April atau Mei 2020.

        Tengok pertumbuhan ekonominya. Perancis, pada Q1 PDB-nya tumbuh -5,9% (QtQ) dan menjadi -13,8% pada Q2. Jerman, Italia, dan Kanada masing-masing PDB-nya pada Q1 -2,0%, -5,4%, dan -2,1%. Pada Q2 masing-masing turun lagi menjadi -9,7%, -12,4%, dan -12,0%. Negara-negara tersebut pun mengalami resesi.

        Lalu kenapa Jepang yang tidak melakukan lockdown tetapi resesi juga? Lockdown pada dasarnya mencegah mobilitas penduduk dengan mengisolasinya di tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi penyebaran Covid-19.

        Ternyata warga Jepang dengan kesadaran sendiri mengurung diri di rumah masing-masing untuk menghindari terinfeksi Corona ketika puncak pandemi dialami negeri itu April 2020. Pemerintah pun tidak perlu mengeluarkan kebijakan lockdown. Cukup mengumumkan keadaan darurat dan meminta warganya tinggal di rumah dengan suka rela, bisnis yang non-esensial diminta ditutup, tetapi tidak ada paksaan jika menolak.

        Di negeri ini memang ada kebiasaan warganya untuk mengurung diri di rumah hingga berbulan-bulan untuk tujuan tertentu yang dikenal dengan istilah Hikikimori. Dulu sempat dikecam karena banyak anak muda melakukkan Hikikimori hanya untuk bermain game. Pada saat puncak pandemi tahun ini justru dianjurkan sebagai bagian dari Work from Home (WFH).

        Namun, karena mobilitas penduduk menurun drastis, ekonomi Jepang terganggu. Pada Q1 PDB negeri itu tumbuh -0,6%, lalu anjlok menjadi -7,8% pada Q2 atau -27,8% dibanding tahun sebelumnya. Untuk menyelamatkan ekonomi, Jepang sempat meminta warga 'keluar rumah' untuk belanja atau menikmati pariwisata di daerah-daerah tujuan wisata (DTW) domestik dengan iming-iming program Go to Travel yang menawarkan diskon tiket perjalanan hingga sebesar 50%. Tentu saja dengan protokol kesehatan yang ketat.

        Akan tetapi, kampanye itu disusul menaiknya kasus harian positif Covid-19 pada awal Agustus 2020. Dibanding April 2020 yang merupakan puncak gelombang pertama, pada Agustus kasus hariannya jauh lebih tinggi. Jika pada April kasus tertingginya sedikit di atas 600, pada Agustus meningkat dua kali lipat menjadi di atas 1.200 kasus per hari.

        Sejauh ini lockdown kembali bukan pilihan Jepang. Tetapi, negara itu menutup pintu masuknya turis asing dari 150-an negara pada akhir September 2020 untuk durasi 14 hari. Kegiatan bisnis dikurangi, restoran-restoran ditutup lebih awal. Sekarang, dunia menunggu apa yang akan dilakukan Jepang dalam menghadapi tingginya kasus Covid-19 tanpa lockdown. Adakah sesuatu yang baru?

        Harus diakui lockdown hampir selalu diusulkan ketika kasus Covid meningkat yang akhirnya menjadi kebijakan pemerintah suatu negara. Tidak hanya negara-negara G7, negara tetangga kita, Filipina melakukan lockdown pula pada pertengahan dan akhir Maret di beberapa provinsi. Lockdown masih dilakukan hingga Juni.

        Pada Agustus 2020, Filipina resmi menyatakan resesi. Pertumbuhan PDB pada Q1 anjlok -5,1% (QtQ) dan pada Q2 turun lagi menjadi -15,2%. Malaysia yang melakukan lockdown pada periode yang sama juga mengalami kontraksi ekonomi. Pertumbuhan PDB-nya pada Q1 -2% dan pada Q2 -16,5%.

        Singapura melakukan lockdown parsial mulai 7 April dan berakhir pada awal Juni 2020. Pada Q1 PDB mereka tumbuh negatif hingga -3,3% (QtQ) dibanding kuartal sebelumnya (Q4 2019), sedangkan pada Q2 -41,2% dibanding Q1.

        Thailand melakukan lockdown pada 25 Maret dan berakhir pada 31 Mei 2020. Konsekuensi dari keputusan itu, pertumbuhan PDB Negeri Gajah Putih ini turun menjadi -2,5% pada Q1 dan menjadi -9,7% pada Q2. Thailand pun mengalami resesi.

        Tentu saja lockdown dan mini-lockdown yang dikemukakan Presiden Jowowi berbeda. Mini-lockdown ini lebih bisa diterima. Namun, jangan lupa, kita ini sering kedodoran dalam soal disiplin. Karena itu, ketika mini-lockdown diberlakukan, disiplinnya harus dimaksimalkan.

        Seorang pengusaha Pakistan menulis, dalam menghadapi pandemi Covid-19, yang penting bukan PDB per kapita, melainkan disiplin per kapita. Kita butuh dua-dua. PDB per kapita perlu dipertatankan dengan berbagai program bantuan pemerintah agar daya beli masyarakat tetap terjaga sehingga ekonomi nasional bisa kembali tumbuh positif, disiplin per kapita juga harus diawasi agar pandemi tak merajalela.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: