Jokowi Gaungkan Benci Produk Asing, Emang Indonesia Bisa Ngelawan Kalau Kalau AS dan China Ngambek
Ajakan Presiden Jokowi untuk membenci produk asing memang enak didengar. Namun, mengandung risiko besar. Apalagi, kalau Amerika Serikat dan China sampai ngambek. Indonesia bisa repot.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio menilai, dalam ilmu komunikasi, ajakan Jokowi itu terasa heroik. Hanya saja, ajakan itu punya dampak berbahaya dalam konteks relasi dengan negara lain. Padahal, banyak industri kita yang tergantung pada bahan baku impor.
Baca Juga: Serukan 'Benci Produk Asing' Eh Dinyinyirin, Lihat Nih Jokowi Balas Pake Jurus Gus Dur
Selain itu, menurut Agus, pernyataan Jokowi tersebut dilontarkan dalam waktu yang tidak tepat. Soalnya, di saat pandemi seperti sekarang, Indonesia sangat memerlukan kolaborasi dengan berbagai negara.
"Dalam komunikasi hubungan internasional, itu bisa berbahaya. Kita kan di satu sisi sedang minta bantuan dukungan karena pandemi dan sebagainya, tapi di sisi lain membenci produk asing. Ini secara komunikasi internasional harus hati-hati," ujar Agus, saat berbicara dalam diskusi bertajuk "Jokowi Gaungkan Benci Produk Luar Negeri", kemarin.
Ia khawatir, kampanye benci produk asing itu akan memengaruhi industri di Tanah Air. Soalnya, masih banyak industri yang tergantung dengan impor. Mulai dari industri besar seperti otomotif, sampai makanan seperti susu, tahu, tempe, dan terigu. Menurut dia, Indonesia masih banyak kekurangan sumber daya. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi saja, kita masih impor. Jika negara asal menghentikan impor barang-barang itu, Indonesia bisa kelimpungan.
Agar kampanye benci produk asing tidak berbuntut panjang, Agus meminta seluruh duta besar Indonesia menjelaskan ke negara tempatnya bertugas terkait maksud Jokowi. "Saya khawatir perkataan benci produk itu bisa ke mana-mana," kata Agus.
Ke depan, Agus berharap Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan ahli komunikasi sebelum menyampaikan pernyataan. Agar pernyataan yang disampaikan tidak membuat polemik. "Ini secara komunikasi internasional harus hati-hati. Mungkin perlu konsultasi dengan ilmu komunikasi dan international relation untuk membahas ini sebelum disampaikan. Karena kemarin kan Presiden spontan pidato tanpa teks, jadi ini harus hati-hati," tuturnya.
Ajakan membenci produk asing disampaikan Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3/021). "Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan, produk-produk dalam negeri. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri," kata Jokowi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan, yang hadir dalam diskusi yang sama, mencoba meluruskan. Dia menyebut, ajakan benci produk asing yang digaungkan Jokowi bukan berarti membenci negara penghasil komoditas. Jokowi juga tak bermaksud mengajak Indonesia membenci produk asing secara harfiah.
Dany menjelaskan, ajakan Jokowi bagian dari perbaikan perdagangan Indonesia. Termasuk memperkuat industri lokal. "Ini semangat heroik untuk memperbaiki fundamental perdagangan kita," jelasnya.
Dia menyampaikan, selama ini sistem perdagangan Tanah Air menganut keunggulan kompetitif. Sistem ini bisa memusnahkan pelaku usaha dalam negeri. "Karena itu, harus ada perubahan fundamental. Ubah kerangka kerjanya," lanjut Dany.
Ia menerangkan, kerangka kerja dari keunggulan kompetitif harus diubah menjadi keunggulan kolaborasi. Investor harus melibatkan pelaku usaha dalam negeri dalam segala pembuatan produknya.
Pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing menilai, wajar kalau ajakan Jokowi menuai polemik. Sebab, publik menangkap kalimat yang disampaikan Jokowi secara harfiah. Padahal ada pesan tersirat. Yaitu mengutamakan produk dalam negeri dibanding produk asing.
Agar polemiknya tak panjang, Emrus menyarankan para Juru Bicara Presiden cepat merespons dengan menyampaikan narasi pemaknaan mendalam dari diksi "benci". “Agar publik tercerahkan dari pandangan yang berbasis pada pemaknaan denotatif yang linear itu,” ucapnya.
Sayangnya, kata dia, sampai saat ini, para Juru Bicara Presiden belum menyampaikan pendapat sejenis itu. "Boleh jadi, saya berhipotesa, karena para Juru Bicara Presiden bukan dari ilmuan komunikasi, jadi kurang paham persoalan," sindir Emrus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: