Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ribut-Ribut Soal Pendanaan Pipa Gas Cirebon-Semarang, Ferdinand Hutahaean Beraksi..

        Ribut-Ribut Soal Pendanaan Pipa Gas Cirebon-Semarang, Ferdinand Hutahaean Beraksi.. Kredit Foto: Instagram/ferdinand_hutahaean
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksketufi Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean ikut merespons reaksi publik terkait rencana proyek strategis nasional pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang.

        Sebelumnya, publik melihat adanya perbedaan pendapat antara Kementerian ESDM dengan BPH Migas.  Baca Juga: Penerimaan Negara dari Sektor Hulu Migas Capai US$3,29 Miliar di Kuartal I 2021

        Karena itu, menurut dia, perbedaan mencolok tersebut terlihat pada soal pendanaan proyek. Dimana Kementerian ESDM berharap proyek pipa gas ini dibiayai oleh APBN sedangkan BPH Migas maunya dibiayai oleh swasta.

        Ia melihat dua pemikiran tersebut sangat kontras antara semangat konstitusi dengan semangat kapitalis pencari rente dari swasta lantaran gas menjadi cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak layaknya Bahan Bakar Minyak.  Baca Juga: Genjot Pembelian Vaksin Corona, Malaysia Gunakan Dana dari Migas

        "Gas adalah salah satu komponen utama dan sangat besar porsentasinya dalam sektor industri yang mempengaruhi harga produk. Maka selayaknya semua infrastruktur produksi gas dan distribusi gas ini harus dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan konstitusi, bukan malah diserahkan kepada swasta yang akan membuat negara ketergantungan kepada swasta. Ini bahaya." katanya, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/4/2021).

        Tambahnya, "Selama ini kita juga mendengar riuhnya soal harga gas industri. Presiden bahkan pernah marah kenapa harga gas mahal dan akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan yang memaksa PGN menjual gas dalam harga tertentu yang mengakibatkan tekanan terhadap keuangan PGN dan berdampak pada pendapatan serta laba."  katanya lagi.

        Lanjutnya, hal ini sebenarnya menjadi penyebab utama mahalnya biaya toll fee yang harus dibayar kepada swasta untuk mendistribusikan gas. "Ini kesesatan logika puluhan tahun yang ingin dipertahankan oleh BPH Migas," cetusnya. 

        "Sebuah keputusan yang memperkaya swasta dan menyandera kepentingan negara. Maka kesalahan masa lalu tersebut tidak boleh diteruskan oleh BPH Migas dan harus merubah pola pikirnya," tegas dia.

        Menurutnya, pilihan terbaik saat ini adalah, proyek pipa gas Cirebon Semarang tersebut dibiayai oleh APBN sehingga hal tersebut menegaskan posisi negara menguasai cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

        "Saya heran bila BPH Migas tidak berpihak kepada negara, jangan-jangan ada rente yang manis disana sehingga lebih memilih swastanisasi kapitalisme dibanding menegakkan konstitusi," katanya.

        "Saya berharap agar Presiden Jokowi menegur BPH Migas dan memerintahkan agar proyek pemipaan ini dilaksanakan oleh pemerintah dengan APBN demi masa depan industri yamg kompetitif," tukasnya.

        Diketahui sebelumnya, mantan Wakil ketua komisi VI DPR RI, Inaz N.Zubir menduga bahwa pengambilalihan proyek pipa gas CISEM oleh Mentri ESDM tersebut bertujuan untuk menolong BNBR saja.

        Menurutnya, bisa jadi proyek tersebut dikerjakan oleh Kementrian ESDM tapi pipanya disuplai oleh Bakrie Pipe Industries. 

        "BPH Migas juga menilai sangat tidak masuk akal jika proyek CISEM diambil alih oleh Mentri ESDM, karena pasti akan menggunakan APBN untuk membangun proyek tersebut. Padahal Pemerintah sendiri juga sedang ngos-ngosan mengatasi pandemi Covid-19," kata Inas.

        Ia menilai, persoalan ini mirip dengan persoalan pipa gas Kalija 1 dari Kepodang ke Tambak Loro, Jawa Tengah beneraoa waktu lalu, dimana peserta tender pada saat itu adalah PT. Barata/BUMN, BNBR/Bakrie, PGN/BUMN, dengan Barata sebagai pemenangnya.

        "Justru yang harus dicermati adalah bahwa persoalan ini sangat mirip dengan masalah yang terjadi di pipa gas Kalija (Kalimantan Jawa) 1 dari Kepodang ke Tambak Loro, Jawa Tengah dengan pemenang PT Barata tapi mangkrak, kemudian ditunjuk pemenang kedua, yakni Bakrie, tapi mangkrak juga," kata Inas.

        "Proyek tersebut akhirnya diambil alih Pemerintah yang kemudian menugaskan PGN untuk mengerjakannya melalui joint venture dengan Bakrie melalui PT. Kalimantan Jawa Gas. Dan yang menarik  seluruh pipanya disuplai oleh Bakrie Pipe Industries," bebernya.

        Menurut dia, jika pipa gas CISEM diambil alih  Pemerintah melalui Kementrian ESDM maka yang akan melaksanakannya sudah pasti BUMN.

        "Siapa lagi kalau bukan PGN. Dan kita bisa menduga bahwa praktik yang sama dengan Kalija 1 pun akan terjadi, yakni PGN disuruh joint venture lagi dengan Bakrie dan pipa gas-nya disuplai lagi dari Bakrie Pipe Industries," cetusnya.

        Lebih jauh ia menambahkan, bahwa saat ini  Negara sudah membangung pipa transmisi gas melalu Badan Usaha Milik Negara, yakni PGN dan anak usahanya sepanjang 4751 km (98% dari pipa transmisi gas bumi nasional) dan pipa distribusi sepanjang 5.418 km (89 % dari pipa distribusi gas bumi Nasional dan swasta 11% persen).

        "Untuk itu, jika BPH Migas ingin menunjuk BNBR/Bakrie, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, asalkan jangan sampai kasus Kalija 1 terulang lagi, dimana kemudian mangkrak lagi dan ujung-ujungnya PGN disuruh joint venture dengan BNBR/Bakrie, dan Bakrie juga yang akan menyuplai pipanya. Itu namanya modus," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: