Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Fraksi PKS DPR: Kokohkan Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa

        Fraksi PKS DPR: Kokohkan Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa Kredit Foto: Instagram/Jazuli Juwaini
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan Pancasila harus menjadi ideologi pemersatu bangsa, hanya dengan demikian keutuhan NKRI terjaga.

        Hal ini disampaikan dalam Program Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seri ke-5 “Mengokohkan Pancasila Sebagai Ideologi Pemersatu dan Penjaga Keutuhan NKRI”.

        Hadir sebagai narasumber Prof. Salim Haji Said, Ph.D (Ilmuwan Politik, Guru Besar Universitas Pertahanan), Dr. H. Ahmad Heryawan, M.Si (Wakil Ketua Majelis Syuro PKS), Pdt. Jimmy Sormin, MA (Sekretaris Eksekutif KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia/PGI), pada Jum’at (11/06/2021).

        "Mimbar demokrasi kebangsaan kali ini mengangkat tema tentang Pancasila. Tema ini diangkat bertepatan dengan momentum bulan Juni sebagai Bulan Pancasila, lebih tepatnya pada 1 Juni yang ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Pancasila menjadi penting karena Pancasila adalah dasar negara Indonesia merdeka, falsafah dasar yang menjadikan Indonesia bersatu.

        "Diterima sebagai kesepakatan bersama oleh semua kelompok dan golongan," papar Jazuli dalam acara yang dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting itu.

        Jazuli menambahkan bahwa dalam penetapan Pancasila sebagai dasar negara, melalui perdebatan konsepsional dalam rumusan sila-sila di dalamnya, dimana perdebatan ini menunjukan tiga hal penting, yaitu: Pertama, kualitas pemikiran (isi kepala) bangsa kita.

        Kedua, menunjukkan kualitas peradaban bangsa Indonesia dengan karakter yang unggul. Lalu yang, Ketiga, dimana ini yang sangat penting, yaitu menunjukkan kedewasaan dan kebesaran hati tokoh bangsa untuk menjaga persatuan di atas semua kepentingan golongan.

        "Dengan seluruh latar filosofis lahirnya Pancasila tersebut, kita harus menunjukkan sikap dan perilaku kebangsaan yang tepat, yaitu: Pertama, Pancasila telah final sebagai dasar negara, falsafah dasar dan ideologi negara. Kedua, menjadikan Pancasila milik bersama sebagai ideologi terbuka. Ketiga, menjadikan Pancasila ideologi pemersatu. Keempat, menghindari sikap bernegara yang polaritatif. Kelima, tidak mempertentangan secara dikotomis nilai yang inheren dalam Pancasila. Keenam, mengedepankan sikap toleransi (tasammuh), silaturahim, kerjasama, dan gotong royong dalam membangun bangsa," urainya.

        Sebagai penutup, Jazuli menjelaskan  alasan penting di balik program silaturahmi kebangsaan PKS, menurutnya kegiatan itu merupakan salah satu bentuk implementasi Pancasila sebagai pemersatu dan penjaga keutuhan NKRI, yakni dengan cara bersilaturahmi untuk membangun kebersamaan.

        Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Ahmad Heryawan yang akrab dipanggil Aher memaparkan bagaimana penafsiran Pancasila sebagai sebuah dasar bernegara yang terbuka dan factual guna membangun kesejahteraan Indonesia.

        “Saat ini di era reformasi, kita menyadari bahwa Pancasila telah mendapatkan banyak penafsiran dari berbagai kalangan. Penafsiran tersebut menandakan bahwa kehadirannya sangat terbuka dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya banyak mempengaruhi berbagai dinamika kebangsaan sejak awal kemerdekaan,” ujar Aher.

        Aher mengatakan penafsiran Pancasila seharusnya terbuka dan tidak menghadirkan tafsir tunggal yang pernah terjadi dibeberapa masa kepemimpinan sebelumnya. Karena dengan adanya tafsir tunggal tersebut, maka akan menegasi penafsiran yang terbuka dan bernilai ilmiah serta mengandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

        Sementara, Sekretaris Eksekutif KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Jimmy Sormin mengatakan bahwa pancasila dalam satu dekade ini telah teredusir atau lebih terarah pada diskursus sila pertama ataupun sila ketiga saja.

        “Sila pertama oleh karena persoalan politik identitas, persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak selesai-selesai. Dan sila ketiga tentang persoalan separatisme atau terorisme yang kemudian menjadi isu tentang persatuan kita. Kita cenderung lupa esensi tiga sila lainnya yaitu sila kedua kemanusiaan, sila keempat kerakyatan atau demokrasi dan sila kelima keadilan sosial,” papar Jimmy.

        Untuk mengokohkan Pancasila, menurut Jimmy, jangan hanya sekedar menjadi diskursus akademik dan konsumsi elitis semata, akan tetapi kita juga harus mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud pengejawantahan keseluruhan sila Pancasila.

        "Pancasila harus melahirkan perjumpaan diantara kita, mengikat kita dalam perbedaan. Ia juga yang akan memberikan ruang perjumpaan di tengah-tengah situasi sosial yang saat ini tersegregasi," tandasnya.

        llmuwan Politik dan Ahli Sejarah Salim Haji Said sebagai pembicara terakhir menekankan bahwa jika ingin menafsirkan dan mengamalkan Pancasila harus mempelajari sejarahnya terlebih dahulu. Jika tidak bisa salah arah.

        “Jika ingin menjadi pemimpin, membicarakan mengenai demokrasi hingga menafsirkan Pancasila, maka harus memperhatikan historisnya. Kesalahan banyak pemimpin Indonesia adalah karena mereka tidak belajar sejarah. Sehingga mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai historis dan akibatnya mengalami kerancuan,” ucap Salim.

        Salim Said menegaskan pengamalan Pancasila tergantung pada level peradaban bangsa Indonesia.

        "Kemakmuran berkorelasi tinggi dengan peradaban, dan peradaban berkorelasi tinggi dengan kemungkinan terjadinya demokrasi. Jangan bosen-bosen bicara Pancasila, ini tidak akan selesai-selesai, sebab itu akan selesai ketika kita sudah dekat dengan beradab,” pungkas Salim.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: