Negara-negara di kawasan Asia, seperti Indonesia dan Filipina, menghadapi tantangan besar dalam menurunkan angka perokoknya.
Penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, snus, maupun kantung nikotin, perlu dikedepankan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam sambutannya pada acara Asia Harm Reduction Forum 2021 yang dilakukan secara virtual, Senin (28/6), Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Profesor Achmad Syawqie menyampaikan bahwa serangkaian cara yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, seperti menaikkan tarif cukai rokok, kampanye anti-rokok, maupun penerapan regulasi yang ketat, dinilai tidak cukup efektif dalam menurunkan prevalensi perokok.
“Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan lainnya masih diteror oleh masalah tingginya prevalensi perokok. Perokok akan terus merokok, kecuali ada cara lain bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan nikotinnya,” ucap Syawqie.
Menurut Syawqie, produk tembakau alternatif merupakah salah satu cara yang lebih rendah risiko bagi perokok dewasa dalam memenuhi kebutuhan nikotin. Produk ini menerapkan konsep pengurangan bahaya sehingga mampu mengurangi risiko 90%-95% dibandingkan rokok.
Tingkat risiko pada produk ini berkurang karena tidak adanya proses pembakaran seperti pada rokok, sehingga tidak menghasilkan TAR. Dimana TAR adalah zat yang mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat memicu kanker.
Syawqie melanjutkan YPKP sudah melakukan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif. Dalam riset berjudul “Pengurangan Bahaya Tembakau dan Studi Potensi Genotosik melalui Perhitungan Frekuensi Mikronukleus pada Apusan Sel Mukosa Bukal”, hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok aktif memiliki jumlah inti sel kecil dalam kategori tinggi sebanyak 145,1.
Adapun pengguna produk tembakau alternatif dan non-perokok masuk dalam kategori normal yang berkisar pada angka 76-85.
Jumlah inti sel kecil yang semakin banyak menunjukkan ketidakstabilan sel yang merupakan indikator terjadinya kanker di rongga mulut.
Hasil memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah inti sel kecil pada pengguna produk tembakau alternatif dengan non-perokok dan dua kali lebih rendah dari pada perokok aktif.
"Sebagai dokter gigi dan ilmuwan, saya berharap negara-negara Asia dapat memanfaatkan penggunaan produk tembakau alternatif yang lebih kecil risikonya, seperti yang sudah dilakukan Jepang dan Inggris. Dengan kehadiran produk tersebut, jumlah perokok di negara tersebut berkurang," ujar Syawqie.
Berdasarkan hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok pria turun di bawah 30% untuk pertama kalinya menjadi 28,8% pada 2019.
Adapun menurut Badan statistik Inggris, angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 lalu menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.
Syawqie berharap Pemerintah Indonesia dan pemangku kebijakan lainnya mendukung penggunaan produk tembakau alternatif. Selain itu, dukungan terhadap produk ini perlu diperkuat dengan regulasi berlandaskan kajian ilmiah, seperti yang dilakukan Jepang dan Inggris.
“Keberhasilan kedua negara tersebut dapat menjadi landasan bagi pemerintah untuk mulai memberdayakan produk tembakau alternatif. Pemanfaatan produk ini diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas kesehatan publik,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: