Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dulu Menolak, Kini Giliran China Dekatkan Diri ke Taliban, Apa yang Sebenarnya Diincar?

        Dulu Menolak, Kini Giliran China Dekatkan Diri ke Taliban, Apa yang Sebenarnya Diincar? Kredit Foto: AP Photo/Xinhua/Li Ran
        Warta Ekonomi, Kabul -

        Ketika Taliban mengambil alih Afghanistan untuk pertama kalinya pada tahun 1996, China menolak untuk mengakui kekuasaan mereka dan menutup kedutaan mereka selama bertahun-tahun. Kali ini, Beijing berbalik menjadi salah satu negara yang pertama merangkul militan Taliban.

        Pergeseran sikap China terlihat ketika Menteri Luar Negeri Wang Yi menyambut delegasi Taliban di Tianjin, sekitar dua pekan lalu. Delegasi Taliban mengunjungi China, ketika kelompok itu telah menguasai wilayah strategis Afghanistan dan memenangkan pertempuran melawan pasukan keamanan.

        Baca Juga: Wartawan Terkejut Melihat Jubir Taliban yang Ternyata Telah Berbicara dengannya Lebih dari Sedekade

        Dukungan Wang merupakan hal penting bagi Taliban dalam memerintah Afghanistan, dan memberikan legitimasi bagi sebuah organisasi yang telah lama dicap sebagai pendukung terorisme serta melakukan penindasan terhadap perempuan. Kekhawatiran Beijing tentang ekstremisme Islam di kalangan minoritas Uighur semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

        Hal ini membuat Cina membangun pos polisi yang luas, yang berdekatan dengan Afghanistan. Selain itu, persaingan yang semakin ketat dengan Amerika Serikat (AS) telah mendorong Presiden Cina Xi Jinping mengambil setiap kesempatan, untuk melawan dominasi Washington dan mendorong pasukan Amerika menjauh dari perbatasannya.

        "Cina berharap Taliban dan pemerintah Afghanistan dapat bersatu dengan partai politik lain, dan dengan semua kelompok etnis serta membangun kerangka politik sesuai dengan kondisi nasional yang inklusif secara luas dan akan meletakkan dasar bagi perdamaian abadi," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying, dilansir NDTV dari tulisan Bloomberg, Rabu (18/8).

        Hua mengatakan, China akan berhenti mendukung pemerintahan Taliban, jika  situasi di Afghanistan mengalami perubahan besar. Sebelumnya pada 28 Juli, Wang menekan Kepala Perunding Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar untuk membuat kesepakatan dengan Gerakan Islam Turkestan Timur.  China menyalahkan kelompok itu atas serangan teroris di wilayah Xinjiang.

        Dalam pertemuan itu, Baradar berjanji bahwa Taliban tidak akan pernah membiarkan kelompok militan manapun menggunakan wilayah Afghanistan, untuk terlibat dalam tindakan yang merugikan Cina.

        "Sikap Cina terhadap rezim yang dipimpin Taliban akan tergantung pada kebijakannya, misalnya, apakah Taliban akan menepati janjinya dan tidak menjadi sarang kekuatan ekstrem yang memiliki hubungan dengan Cina," kata seorang profesor di Middle Institut Studi Timur Universitas Studi Internasional Shanghai, Fan Hongda.

        Afghanistan bisa menjadi ujian terbesar bagi model diplomatik China yang mengedepankan pinjaman, komoditas dan kesepakatan infrastruktur ketimbang tuntutan untuk kebijakan liberal. 

        Menurut Stimson Center, jika Taliban mengejar kebijakan moderat terhadap perempuan dan mencapai stabilitas politik, Beijing kemungkinan mempertimbangkan untuk berinvestasi. Hal ini serupa yang telah dilakukan China di Pakistan.

        "Pendekatan China adalah, 'Melalui infus ekonomi kami menciptakan jalan, kami menciptakan infrastruktur, dan kami memastikan setiap orang memiliki pekerjaan'. Dan jika semua orang pergi bekerja jam sembilan pagi dan pulang jam 6 sore, mereka tidak punya waktu untuk memikirkan terorisme," ujar pernyataan Stimson Center.

        Stabilitas Afghanistan adalah kunci untuk melindungi proyek Belt and Road yang diinisiasi Cina, senilai lebih dari 50 miliar dolar AS. Proyek ini membangun rute darat penting dari dan ke Samudra Hindia.  

        Ketika para pejuang Taliban menguasai Kabul, sejumlah unggahan yang membandingkan  peristiwa pengambilalihan Beijing oleh Mao Zedong pada 1949 beredar di media sosial Cina. Sementara itu, media pemerintah Cina menyebut bahwa penarikan pasukan AS dari Afghanistan adalah lonceng kematian bagi penurunan hegemoni AS.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: