Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Nasib Pegawai KPK, Pakar: Presiden Punya Kesempatan Tunjukan Komitmennya pada Aspirasi Publik

        Soal Nasib Pegawai KPK, Pakar: Presiden Punya Kesempatan Tunjukan Komitmennya pada Aspirasi Publik Kredit Foto: Instagram/Joko Widodo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto berpandangan saat ini tersisa dua argumen untuk membela nasib pegawai non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

        Dikutip pada Rabu (15/9/2021) Sigit menyebut, dua argumen itu adalah; pertama, uji materi keterbukaan informasi publik KPK, dan kedua sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan final nasib pegawai non-aktif.

        Argumen Sigit didasarkan pada temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM yang masing-masing menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam TWK (tes wawasan kebangsaan).

        Meskipun, temuan kedua lembaga tersebut sudah tertolak di hadapan MK, namun menurut Sigit, argumen masing-masing lembaga tersebut menunjukkan triangulasi terhadap alih status pegawai KPK melalui asesmen TWK tidak relevan, tidak kredibel dan tidak adil.

        "Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Sigit.

        Terkait keterbukaan informasi publik, tiga pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK dalam proses alih status pegawai KPK, yakni Hotman Tambunan, Ita Khoiriyah dan Iguh Sipurba tercatat menempuh gugatan keterbukaan informasi TWK KPK kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).

        "Para pegawai KPK telah mengajukan permohonan melalui mekanisme PPID sesuai dengan Undang-Undang, namun KPK tetap tidak memberikan informasi hasil TWK," ujar Hotman di Jakarta, Senin (13/9/2021).

        Dalam sidang perdana Komisi Informasi, Ketua Majelis Komisioner KIP, Gede Narayana menyebutkan, gugatan yang diajukan tiga pegawai KPK tersebut berupa:

        (1) landasan hukum penentuan unsur-unsur yang diukur dalam asesmen TWK; (2) landasan hukum penentuan kriteria memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam asesmen TWK; (3) nama dan sertifikat asesor atau pewawancara serta lembaga atau institusi asal asesor atau pewawancara; (4) kertas kerja asesor atau pewawancara; (5) berita acara penentuan lulus dan tak lulus oleh asesor; dan (6) hasil asesmen TWK.

        Gugatan yang dilayangkan Hotman dan kawan-kawan, sebenarnya sudah sesuai jalur hukum yang tersedia. Namun, pesimistis bahwa lembaga KIP dapat menjadi solusi bagi masalah TWK KPK tetap ada.

        Bahkan, rekomendasi dari lembaga Ombudsman dan Mahkamah Konstitusi pun tak bertaring bagi pimpinan KPK.

        Penyidik senior nonaktif KPK, Novel Baswedan bahkan menyebutkan bahwa pegawai nonaktif KPK ditawari untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) supaya tidak lagi menggugat keputusan hasil assessmen menjadi ASN KPK.

        Menurut Novel, tawaran itu merupakan bentuk penghinaan. "Kawan-kawan memilih di KPK karena ingin berjuang untuk kepentingan negara dalam melawan korupsi, tidak hanya untuk sekedar bekerja," kata Novel, Selasa (14/9/2021).

        Dia pun menilai, perbuatan tersebut merupakan langkah sewenang-wenang. Hal ini dinilai semakin nyata untuk menyingkirkan pegawai KPK berintegritas.

        "Perbuatan Pimpinan yang melawan hukum, sewenang-wenang, ilegal dan tidak patut sebagaimana dikatakan oleh Komnas HAM untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK tertentu tersebut kami lawan, karena menghabisi harapan pemberantasan korupsi. Jadi ini bukan semata masalah pekerjaan saja," tegas Novel.

        Berbeda dengan apa yang digugat oleh pegawai non aktif, Pakar Hukum dari UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia), Suparji Ahmad, justru menekankan bahwa keputusan final bukan berada di tubuh pimpinan KPK, melainkan berada di tangan pemerintah. Dalam hal ini adalah Presiden Jokowi.

        Argumen Suparji didasarkan pada berkas putusan putusan uji materi Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diajukan oleh pegawai KPK beberapa waktu lalu.

        Menurut putusan MA, gugatan terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi dasar TWK tidak tepat. Sebab, hasil asesmen TWK itu bukan kewenangan KPK, melainkan pemerintah.

        "Putusan Mahkamah Agung (MA), hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah. Selama pemerintah, dalam hal ini presiden Jokowi, tidak melakukan keputusan apapun, sebaiknya pimpinan lembaga antirasuah juga melakukan hal yang sama," ujarnya, Rabu (15/9/2021).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: