Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CENTRIS Ungkap Fakta Pelanggaran Berat HAM oleh Otoritas China

        CENTRIS Ungkap Fakta Pelanggaran Berat HAM oleh Otoritas China Kredit Foto: ABC Australia
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Beijing diduga kuat telah melakukan tindakan keras terhadap sedikitnya 1 juta orang Uighur, Kazakh dan minoritas Muslim lainnya ke kamp-kamp penahanan serta penjara di Provinsi Xinjiang Barat, dengan dalih memerangi ekstremisme Islam.

        Dengan jaringan dan menghalalkan berbagai cara, China memburu orang Uighur dan minoritas Muslim yang vokal terhadap Beijing khususnya program serta mega proyek China didalam maupun luar negeri, seperti melalui kerja sama dengan pemerintah di Timur Tengah dan Asia Selatan serta Tengah.

        Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengungkap beberapa data yang berasal dari riset serta penelitian sejumlah negara termasuk organisasi HAM dunia, yang menunjukan fakta pelanggaran berat HAM yang diduga kuat telah dilakukan oleh otoritas China.

        Menurut peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, China seyogianya sudah tidak dapat lagi berkelit atau berlindung dengan alasan memerangi extremisme Islam jika melihat vakidnya data-data hasil riset, penelitan hingga investigasi negara-negara dunia dan organisasi HAM dunia.

        “Dari data yang kita peroleh, sedikitnya ada 5.532 kasus intimidasi yang dialami orang Uighur, 1.150 kasus lainnya ditahan tanpa alasan jelas dan 424 kasus Muslim Uighur yang dideportasi atau diekstradisi ke China dari 1997 hingga Januari 2022,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jum’at (6/5/2022).

        Sebagai catatan dalam laporan tersebut, dari 10 negara tempat pelarian orang Uighur serta etnis Kazakh, Kirgistan dan kelompok lain yang paling rentan terhadap penahanan atau ekstradisi, Pakistan, Kirgistan, Tajikistan, Kamboja, dan Myanmar, telah mengarah pada kesepakatan dengan China di mana para pemimpin antar negara tersebut setuju "memperdagangkan hak asasi manusia untuk peluang ekonomi,"

        China adalah kreditur keuangan terbesar untuk lima bagi Pakistan, Kirgistan, Tajikistan, Kamboja, dan  Myanmar, sehingga Tiongkok dapat dengan bebas mengambil orang-orang Uighur yang mereka inginkan di negara-negara tersebut.

        Parahnya lagi, upaya yang dilakukan China mengarah pada tuduhan memaksakan kerja paksa, penahanan massal, pengendalian kelahiran paksa, penghapusan identitas budaya dan agama Islam hingga tuduhan genosida terhadap muslim Uighur.

        Menggunakan seperangkat alat yang kompleks dan diduga kuat digunakan untuk intimidasi, pelecehan, pengawasan, penahanan dan ekstradisi, kampanye transnasional Beijing telah berkembang pesat serta terjadi di hampir belahan dunia.

        “Hal ini juga telah didokumentasikan secara rinci dalam laporan baru yang dinamai “Tembok Besar Baja”, oleh Institut Kissinger Wilson Center di  Cina dan Amerika Serikat,” ungkap AB Solissa.

        Penelitian baru tersebut juga menunjukkan bagaimana kebangkitan global China yang dicontohkan oleh pengaruh besar ekonominya melalui proyek-proyek seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang bernilai miliaran dollar Amerika.

        Langkah ini telah memberi Beijing pengaruh yang baru di negara-negara yang mereka jadikan mitra, namun sesungguhnya rindakan ini patut diduga untuk mengkooptasi negara-negara yang China bantu ekonominya.

        “Bradley Jardine, seorang penulis yang penelitian Wilson Center, mengungkap laporan bahwasanya China pertama kalo mendeportasi Muslim Uighur dari Pakistan. Sejak itu, skalanya telah meningkat secara dramatis,” ujar AB Solissa.

        Dari hasil investigasi Bradley, lanjut AB Solissa, semakin sulit bagi orang Uighur untuk melarikan diri dari penganiayaan di Xinjiang atau melarikan diri ke negara lain. 

        Asia Tengah dan Selatan pernah menjadi daerah pelarian dan perlindungan, tetapi itu telah berubah setelah pemerintah di kawasan tersebut membentuk ikatan yang lebih erat dengan Beijing.  

        Akibatnya, minoritas Uighur semakin kehilangan tempat dan ruang politik di Asia Tengah, Selatan dan Tenggara. Namun seiring perjalanan waktu, telah terbuka beberapa tempat persembunyian baru dan aman, seperti sdi Negara Timur Tengah dan Turki.

        Turki masih menjadi tujuan terbesar, meskipun ada eksodus kecil dari tokoh-tokoh terkemuka, seperti aktivis Kazakh Serikzhan Bilash, yang pindah ke Amerika Serikat. Ini menandakan tidak ada ruang nyata bagi muslim Uighur kecuali negara Timur Tengah, Turki dan Amerika Serikat.

        “Tentu saja, orang Uighur yang menetap di luar China tidak sepenuhnya aman, karena dari berbagai penelitian menunjukkan tidak sedikit yang menghadapi serangan siber dan keluarga mereka di China khususnya di Xinjiang,” tutur AB Solissa.

        Selain itu, China telah membentuk Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) sebagai kerangka kerja multilateral di mana Otoritas Tiongkok tekahvberkoordinasi dengan rekan-rekannya di Asia Tengah dan dengan Rusia, untuk memainkan peran utamanya.

        Di dalam SCO, ada sejumlah perjanjian yang memungkinkan ekstradisi bersama tanpa pertanyaan antar negara anggota.  Ada juga beberapa kerangka kerja untuk kontraterorisme, seperti pembagian intelijen bagi siapa saja yang telah ditandai sebagai teroris meski dengan bukti minimal dalam banyak kasus.

        “Ini masih menjadi ke khawtiran bagi orang Uighur yang belum sepenuhnya bebas apalagi aman meski telah keluar dari China. Negara-negara dunia khususnya Indonesia harus aware dengan tindakan China ini. Jangan mau ikut dalam bagian pelanggaran HAM,” pungkas AB Solissa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: