Mirip Kasus Singapura, Pencucian Uang di Balik Family Office Indonesia
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut jika pembentukan family office di Indonesia berpotensi menjadi ladang pencucian uang seperti yang terjadi di Singapura. Dalam kasus Singapura, ada 6 family office yang tersandung kasus pencucian uang dengan angka US$3 miliar atau setara dengan Rp36,23 triliun.
Kasus tersebut membuat pemerintah Singapura menangkap 10 orang asing yang terlibat dalam kasus pencucian uang terbesar di negara tersebut. Mereka juga telah mendapatkan hukuman dari pihak otoritas Singapura. Maka dari itu, dia menyebut sejumlah ekonom mendesak pemerintah untuk meninjau kembali pembentukan dan skema family office secara matang lantaran dikhawatirkan menjadi tempat pencucian uang dan suaka pajak.
Baca Juga: Singapore International Foundation Luncurkan Platform Kolaborasi Pertamanya di Asia Tenggara
Nailul mengaku telah melihat risiko pencucian uang dari pembentukan family office. Pasalnya, pemerintah harus menawarkan pajak rendah demi menarik investor asing atau orang kaya ke Indonesia.
"Saya rasa sangat berpotensi menjadi tempat suaka pajak karena insentif yang ditawarkan juga dengan menurunkan pajak bagi orang kaya ini. Sama seperti yang dikembangkan di Singapura ataupun negara suaka pajak lainnya," kata Nailul dalam keterangannya, dikutip Warta Ekonomi, Jumat (5/7/2024).
Sementara itu, Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet turut mewanti-wanti adanya praktik pencucian uang karena pemilik modal atau orang kaya menaruh uangnya di Tanah Air.
Tak hanya itu, Indonesia juga berisiko menjadi tempat pengemplang pajak. Hal ini dikarenakan para pencari suaka pajak berusaha menghindari pajak di negara asalnya dengan cara menaruh uangnya di negara-negara surga pajak.
"Pembebasan ataupun pemberian skema pajak tertentu diberikan pada konsep family office. Skema ini digunakan pemilik modal untuk merancang skema tertentu, ini yang perlu diantisipasi negara berkembang," kata Yusuf.
Apalagi, ujar Yusuf, negara berkembang seperti Indonesia sangat bergantung dari penerimaan pajak yang bersumber dari berbagai sektor usaha. sehingga, pemberian insentif pajak harus memperhitungkan dan memperhatikan faktor kompensasi yang didapat di masa depan dan berlandaskan asas keadilan.
Apabila family office benar-benar direalisasikan dengan pemberian pajak rendah, jelasnya, maka hal tersebut bertolak belakang dengan semangat global. Pasalnya, konsensus global tengah merancang upaya agar tidak ada perang tarif pajak untuk investasi.
"Karena pajak ini akan bermuara terhadap harmfull tax competition [perang pajak] yang akan merugikan negara berkembang seperti Indonesia," ucap Yusuf.
Baca Juga: 3.900 Wajib Pajak Menopang 40 % Perekonomian Indonesia
Maka dari itu, Yusuf berharap pemerintah bisa memperhatikan aspek pajak yang berkeadilan dalam mendesain konsep dan skema family office di Indonesia nantinya. Bukan hanya sekadar menawarkan pajak rendah demi menarik investor masuk.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar