Solusi Berkelanjutan agar AI Tak Sekedar Menjadi Euforia Sesaat.
Artificial Inteligence atau Ai telah menjadi topik yang ramai dibicarakan, mulai dari konferensi teknologi, laporan industri, bahkan obrolan di warung kopi. Ai kerap digambarkan seperti ‘kunci master’ yang dapat membuka jalan dalam memecahkan berbagai masalah kompleks yang sulit diatasi.
Bisa kita bilang, Ai saat ini tengah menjadi demam di tengah masyarakat. Perbincangan apa pun jadi terasa hambar jika belum dikaitkan dengan perkembangan Ai terkini. Bidang industri misalnya, Ai sekarang didorong untuk melakukan otomasi untuk meningkatkan produktivitas.
Begitu pula di sektorkesehatan, Ai telah berperan dalam pengembangan teknologi medis, diagnosis berbasis data, serta pemantauan pasien jarak jauh. Situs berita Harvard Medical School, The Harvard Gazzete menulis trend terbaru Ai di bidang medis. Para ilmuwan di Harhard telah merancang model Ai serbaguna seperti ChatGPT yang mampu mendiagnosa berbagai bentuk kanker.
Dengan perkembangan pesat ini, banyak yang menganggap Ai adalah solusi universal yang dapat diterapkan di semua lini kehidupan. Sampai di titik ini, semua orang mulai satu suara bahwa Ai menjadi episode selanjutnya dalam serial revolusi industri yang tak boleh terlewatkan.
Meski begitu, antusiasme terhadap Ai jangan sampai membuat kita terjebak dalam euforia sesaat, seperti yang pernah terjadi pada tren-tren sebelumnya. Sebut saja “demam metaverse” yang sempat timbul namun kini tenggelam, atau bahkan "demam batu akik" yang datang sesaat tapi hilang begitu cepat.
Bukan Sekadar Euforia
Sebagaimana teknologi lainnya, Ai tidak bisa dianggap sebagai solusi seragam yang dijamin berhasil di mana saja. Negara dengan karakter demografi yang berbeda memiliki kebutuhan spesifik agar penerapan Ai bisa mengasilkan manfaat, buat kiamat.
Negara dengan populasi menua seperti Jepang misalnya, dihadapkan pada tantangan kurangnya tenaga kerja dan meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan bagi lansia. Karena itu Ai didorong menjadi penolong dengan mendukung otomasi dalam industri dan menyediakan robot perawatan bagi para lansia.
Sebaliknya, di negara dengan populasi muda yang besar seperti Indonesia, Ai diharapkan tidak mengambil alih pekerjaan-pekerjaan manual secara sporadis. Tapi justru menguatkan dan memperluas cakupannya. Ai tidak boleh sekadar menjadi demam sementara laiknya tren batu akik. Ai harus punya dampak jangka panjang dan bermanfaat secara luas.
Kehadiran Ai juga jangan sampai dijadikan pembenaran terhadap tren di kalangan anak muda sekarang, atau apa yang sempat disinggung Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Indonesia sebagai kecenderungan child-free. Yakni pilihan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara permanen maupun jangka panjang.
Data Koran Kompas [Edisi 28/10/2024] yang diolah dari BPS [2012-2022] menunjukkan 4 dari 10 orang warga Indonesia ternyata masih melajang. Jumlahnya kian meningkat, dari sekitar 40-an juta di tahun 2012, menjadi sekitar 52 juta di tahun 2022. Setidaknya ada sepuluh alasan yang membuat warga Indonesia tidak atau menunda pernikahannya. Tiga diantaranya adalah karena finansial yang belum mapan [13,9%], Selektif memilih pasangan [13,3%], dan belum prioritas [12,7%].
Data ini jelas menunjukkan, ada problem serius yang harus kita perhatikan saat akan mengadaptasi teknologi Ai atau teknologi apa pun yang sedang jadi tren dunia. Indonesia perlu membangun peta jalan penggunaan Ai yang dirancang berdasarkan karakter demografi dan tantangan lokal. Ai di Indonesia lebih relevan jika difokuskan pada pendidikan dan pengembangan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan. Hal ini dapat mencakup pelatihan ulang bagi pekerja sektor informal, mempersiapkan tenaga kerja muda dalam keterampilan digital, dan membuka peluang bagi wirausaha muda melalui analisis data dan prediksi pasar berbasis Ai.
Sebagai teknologi yang menjanjikan, Ai seharusnya tidak berhenti pada fase euforia yang dangkal, tetapi harus dikembangkan sebagai alat solusi berkelanjutan yang mampu merespons kebutuhan nyata. Jika kita belajar dari "demam metaverse" yang sempat ramai, kita bisa melihat bahwa antusiasme besar terhadap teknologi baru sering kali tidak sejalan dengan kesiapan dan infrastruktur yang memadai. Seperti pisau bermata dua, Ai juga berpotensi membawa manfaat besar atau justru menghadirkan tantangan baru. Kesuksesan penerapannya sangat bergantung pada kesesuaian dengan konteks sosial, ekonomi, dan demografi di setiap negara.
Solusi Berkelanjutan
Pada akhirnya, Ai memang bukanlah solusi "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all). Di negara dengan populasi tua seperti Jepang, Ai difokuskan untuk mendukung perawatan lansia dan otomasi tenaga kerja. Sementara itu, Indonesia yang memiliki populasi muda membutuhkan Ai untuk mendorong pendidikan dan ekonomi digital, mempersiapkan generasi yang lebih siap menghadapi dunia kerja masa depan.
Dengan pemahaman yang tepat, Ai bisa menjadi "kunci sakti" yang membuka berbagai peluang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar tren yang memudar atau “demam” yang berakhir tanpa hasil nyata. Di Indonesia, yang hampir 44% penduduknya berusia di bawah 30 tahun (BPS, 2023), pengembangan Ai perlu difokuskan pada pembangunan keterampilan digital dan peningkatan produktivitas di sektor-sektor yang relevan.
Salah satu area yang bisa dioptimalkan adalah pendidikan berbasis Ai. Dengan menggunakan Ai, sistem pendidikan dapat disesuaikan untuk memberikan materi pelajaran yang personal dan adaptif, membantu para murid mengembangkan keterampilan sesuai minat dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Sambil merawat ingatan kita soal alasan munculnya kekhawatiran terhadap perkembangan Ai dari penciptanya sendiri (Geoffrey Hinton), penting mengambalikan Ai pada raison d’etrenya yaitu untuk membantu manusia belajar dari data dalam jumlah besar dan mendeteksi pola yang kompleks (deep learning). Bukan kepada apa yang dikhawatirkannya, yaitu pengembangan otomatisasi pekerjaan terlalu massif [job losses], munculnya, manipulasi gambar atau video [deep fake], dan senjata otonom [autonomous weapon].
Anak-anak di sekolah dasar dan menengah sudah harus mulai diperkenalkan dengan model-model pembelajaran yang menggunakan learning management system (LMS) secara terbatas. Agar mereka memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mengembangkan keterampilan digital dan memicu munculnya kemandirian belajar. Byju’s adalah contoh LMS yang sukses dalam menyediakan pengalaman belajar yang interaktif dan menarik untuk siswa, terutama di India. Platform ini memiliki beberapa fitur yang dapat dijadikan inspirasi.
Sementara di perguruan tinggi, pemanfaatan LMS harus lebih komprehensif sekaligus adaptif terhadap potensi lokal di masing-masing daerah di Indonesia. Sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan potensi lokal dan minat mahasiswanya (dipersonalisasi).
Dengan begitu, selain bisa menghasilkan lulusan yang digital native, juga bisa mendorong potensi lokal berkembang. Ketika potensi lokal bisa digarap anak-anak mudanya, maka secara tidak langsung juga menahan laju perpindahan talenta lokal yang berkualitas ke kota-kota besar. Jika sudah begitu, maka target ambisius Presiden Prabowo untuk memperpuat eksistensi Indonesia di kancah global betul-betul dapat direalisasikan.
Muhammad Muchlas Rowi
(Komisaris Independen PT Jamkrindo, Dosen S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur, dan Wakil Bendahara Majlis Diktilitbang PP Muhammadiyah)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi