Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pak Mul Bicara Skandal Pertalite Harga Pertamax, Sampai Bawa-Bawa Luhut

        Pak Mul Bicara Skandal Pertalite Harga Pertamax, Sampai Bawa-Bawa Luhut Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mencuatnya berita korupsi minyak mentah Pertamina dengan cara mengubah BBM dengan RON 90 menjadi RON 92 (Pertamax) yang melibatkan Dirut PT Pertamina Patra Niaga, menandakan sistem pengawasan operasional migas hingga saat ini masih lemah. 

        Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto menyebut korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun itu aib besar karena terjadi di perusahaan negara yang harusnya memiliki sistem pengawasan sangat ketat. 

        Ia mendesak pemerintah sungguh-sungguh membongkar kasus ini  secara tuntas hingga ke akar-akarnya.

        "Pemerintah jangan ragu-ragu memeriksa siapapun yang terlibat dalam kasus ini baik pejabat tinggi, politikus ataupun beking aparat. Karena korupsi ini bukan hanya menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan publik kepada Pertamina," kata Mul.

        Ia menyebut angka kerugian negara, terutama untuk pemberian kompensasi BBM sebesar Rp126 triliun dan untuk pemberian subsidi BBM sebesar Rp 21 triliun sangat besar. Karena itu Pemerintah harus mengusut masalah ini dengan serius.

        "Ini kan jumlah yang sangat besar, dibandingkan dengan dana subsidi BBM secara keseluruhan, yang sebesar Rp 145,8 triliun pada tahun 2024. Jadi Luhut jangan buru-buru mengangkat wacana untuk menghapus subsidi BBM, karena alasan APBN tekor, yang mengorbankan masyarakat, tetapi yang utama adalah untuk lebih serius memberantas korupsi BBM seperti ini," kata mantan anggota DPR yang akrab disapa Pak Mul ini.

        Menurut Mulyanto, dengan kasus korupsi tersebut masyarakat juga secara langsung dirugikan, karena mereka membayar untuk membeli Pertamax (RON 92), tetapi yang mereka terima adalah BBM dengan RON 90.

        "Ini kan sama saja dengan membohongi masyarakat. Pertamina tentu harus bertanggung-jawab dan menjelaskan hal ini kepada masyarakat," tegasnya. 

        Untuk diketahui Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan Senin (24/2/2025), bahwa angka kerugian keuangan negara Rp 193,7 triliun tersebut berdasarkan estimasi kerugian  dari dampak ragam perbuatan permufakatan dan persekongkolan jahat, dan tindak pidana korupsi minyak.

        Mulai dari permufakatan dan persekongkolan jahat untuk menolak pembelian minyak mentah dan produk kilang dalam negeri. Sampai pada persekongkolan para tersangka untuk mengatur dan menentukan broker pemenang tender untuk impor minyak mentah dan produk kilang.

        Kemudian perbuatan melawan hukum dalam hal pembayaran produk kilang impor RON 90 dengan harga RON 92. Juga terkait dengan korupsi berupa mark-up dalam penentuan harga pengapalan atau shipping minyak mentah, dan produk kilang impor.

        Baca Juga: Biomassa Sawit Mendukung Ketahanan Energi Berkelanjutan

        Baca Juga: Perkebunan Sawit Bukan Sumber Utama Deforestasi Dunia, Ini Faktanya!

        Termasuk kata Qohar, kerugian negara yang langsung dibebankan kepada APBN lewat kompensasi dan subsidi akibat tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari produk impor tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: