- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia Gugat RUKN 2025-2060 Karena Dinilai Boros
Kredit Foto: Tim Advokasi Bersihkan Indonesia
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia resmi mendaftarkan gugatan terkait Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060 pada Jumat (26/9).
Gugatan diajukan lantaran RUKN dinilai memilih cara paling boros untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060, yang berpotensi menambah beban harga listrik dan subsidi energi masyarakat.
RUKN 2025-2060 menetapkan perpanjangan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga 2060, perluasan co-firing biomassa, ketergantungan pada gas, serta sepenuhnya mengandalkan teknologi penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS) untuk mengurangi emisi. Rencana ini juga mencakup pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Total biaya investasi diperkirakan mencapai US$ 1,092 miliar atau rata-rata US$ 30,33 miliar per tahun.
Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menilai RUKN mengabaikan kebutuhan rakyat. “Gugatan telah berulang kali diajukan masyarakat untuk menghentikan PLTU di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi hingga Nusa Tenggara karena dampaknya buruk pada kesehatan, ekonomi lokal, ruang hidup warga, hingga ruang fiskal negara,” kata Ashov.
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto perlu meninjau ulang pidatonya di sidang umum PBB yang menyatakan tidak ada pilihan selain membangun giant sea wall. “Dengan memaksakan PLTU batu bara terus beroperasi, diperparah dengan kombinasi solusi palsu, pemerintahan sedang menciptakan keterpaksaan dan menyempitkan pilihannya sendiri,” tambah Ashov.
Rencana CCS dinilai tidak realistis dan boros. Saat ini, di seluruh dunia CCS baru diterapkan pada 4–5 PLTU, dengan ketidakpastian biaya hingga 12 kali lipat dibanding energi terbarukan. Selain itu, co-firing biomassa berisiko mendorong deforestasi jutaan hektare untuk bahan baku.
Wicaksono Gitawan, Program and Policy Manager CERAH, menyoroti rencana PLTN. “Biaya listrik PLTN lebih mahal dari tarif dasar listrik. Keterbatasan cadangan uranium membuat Indonesia harus mengimpor bahan baku untuk mengoperasikan PLTN hingga akhir usia pembangkit 30–40 tahun,” jelas Wicaksono.
RUKN juga dianggap bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perpres No 112 Tahun 2022, yang memandatkan percepatan pemensiunan PLTU. RUKN justru menunda pemensiunan batu bara dan membelokkan kebijakan yang sudah ditetapkan.
“Gugatan ini kami ajukan untuk mendorong RUKN dicabut dan diterbitkan RUKN baru yang realistis, menurunkan emisi dan polusi, memuat peta jalan pemensiunan PLTU, serta menambah porsi energi terbarukan. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi pemerintah," tegas Alif Fauzi Nurwidiastomo, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Komitmen Presiden Prabowo untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2060 harus tercermin di seluruh kebijakan dan program Indonesia. Pemerintah, dengan dukungan yudikatif, memiliki kesempatan memastikan RUKN 2025-2060 tidak memboroskan anggaran, sambil mengoptimalkan energi terbarukan dengan manfaat iklim, ekonomi, sosial, dan lingkungan tertinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: