Kredit Foto: Abdul Aziz
Zia Fauzia sudah bertekad untuk pulang kampung, mempraktekkan ilmu dan teknologi yang dia pahami di perkebunan sawit rakyat.
Sore itu, suasana di depan perpustakaan Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI), di kawasan jalan Williem Iskandar, Deli Serdang, Sumatera Utara, terasa tenang. Beberapa mahasiswa tampak sibuk keluar masuk membawa buku.
Di antara mereka, seorang mahasiswi berhijab sederhana berjalan sambil membawa catatan dan beberapa referensi. Namanya Zia Fauzia, mahasiswi semester tujuh jurusan Sistem dan Teknologi Informasi.
Anak pertama dari dua bersaudara ini adalah satu dari sederet penerima Beasiswa Sawit program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) di angkatannya. Dia berasal dari Tawan Jaya, Kecamatan Teweh Selatan, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Zia bukan mahasiswi biasa. Di balik senyum ramahnya, tersimpan tekad besar untuk membanggakan orang tua dan membuktikan bahwa anak kebun sawit pun bisa menembus bangku perguruan tinggi bergengsi.
Dari Desa ke Bangku Kuliah
Perjalanan Zia untuk sampai ke ITSI bukanlah hal mudah. Lahir dan besar di keluarga transmigran, sejak kecil dia sudah terbiasa membantu orang tuanya di kebun kelapa sawit. “Kalau lagi pemupukan, panen, atau bersih-bersih pelepah, saya sering ikut bapak,” kenangnya.
Meski perempuan, Zia tidak canggung turun ke kebun. Ia tahu betul bagaimana keringat orang tuanya menetes demi menyekolahkan anak-anaknya. Pengalaman itu pula yang membuatnya semakin menghargai kesempatan ketika mendengar kabar adanya Beasiswa Sawit tadi.
“Awalnya saya tahu dari saudara yang kerja di koperasi sawit. Katanya ada beasiswa khusus untuk anak kebun. Karena biayanya full dan fokus ke dunia sawit, saya sangat tertarik,” ujarnya.
Dengan tekad kuat, Zia pun mendaftar. Hasilnya, ia diterima di ITSI pada jurusan yang tidak lepas dari latar belakang ilmunya lulusan SMK jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. “Saya memang suka komputer. Kebetulan di ITSI ada jurusan itu, jadi langsung pilih ke sini,” katanya.
Antara Bangga dan Rindu
Bagi keluarga Zia, keberhasilan putri sulung mereka mendapat beasiswa tentu menjadi kebanggaan besar. Namun di balik itu, ada rasa haru sekaligus cemas karena anak perempuannya harus merantau jauh ke Sumatera Utara (Sumut).
“Orang tua saya bangga, tapi juga khawatir. Dari Palangkaraya harus transit dua kali, ke Jakarta dulu baru ke Medan. Apalagi saya anak pertama, perempuan pula,” suara Zia terdengar pelan, bergetar.
Selama tiga tahun kuliah, Zia hanya beberapa kali pulang, biasanya saat Lebaran. Ia mengaku hal yang paling dirindukan dari rumah adalah masakan ibunya. “Paling suka sambal goreng petai buatan mama. Kalau di sini, sering bingung mau makan apa,” perempuan cantik ini tersenyum simpul.
Selain itu, ia juga rindu bercanda dengan adiknya yang kini masih duduk di kelas lima SD. “Lucunya, setiap pulang pasti berantem sama adik. Tapi itu justru yang paling dikangenin,” tambahnya.
Mimpi Besar untuk Sawit di Kampung Halaman
Meski sedang sibuk menyelesaikan skripsinya, Zia sudah punya rencana besar setelah lulus nanti. Ia ingin mencari pengalaman kerja lebih dulu di luar daerah, lalu kembali ke kampung halaman untuk mengembangkan perkebunan sawit masyarakat.
“Saya pengen bawa ilmu teknologi ke perkebunan. Di kampung, masih banyak yang manual dan gaptek. Padahal sekarangkan eranya teknologi,” jelasnya.
Skripsi yang tengah ia susun pun berkaitan dengan itu. Zia memilih topik tentang sensus perkebunan otomatis menggunakan drone. Dengan cara itu, petani bisa tahu luas kebun, jumlah pohon, hingga memantau kondisi tanaman secara lebih akurat.
“Sering terjadi tanah milik orang diaku-aku orang lain. Dengan pemetaan yang jelas, masalah semacam ini akan bisa teratasi, minimal berkurang jauhlah. Jadi perkebunan lebih tertib,” paparnya.
Harapan untuk Orang Tua dan Beasiswa Sawit
Ketika berbicara soal orang tua, suara Zia terdengar bergetar. Malah matanya mulai berkaca-kaca. “Saya ingin sekali membanggakan orang tua. Mereka sudah berjuang luar biasa membesarkan saya. Harapan mereka, saya bisa jadi orang sukses, dan saya akan berusaha sekuat mungkin untuk itu,” ucapnya penuh haru.
Tak lupa, ia juga menyampaikan terima kasih untuk BPDP sebagai penyelenggara beasiswa. “Beasiswa ini sangat membantu anak-anak kebun. Semoga ke depan lebih banyak lagi yang bisa diterima, dan kami bisa memenuhi harapan yang dititipkan melalui program ini,” ujarnya.
Zia Fauzia adalah potret semangat generasi muda sawit yang tak mudah menyerah. Dari desa kecil di Kalimantan Tengah, ia kini menapaki jalan panjang pendidikan dengan mimpi besar: membawa perubahan bagi petani sawit di kampungnya.
Meski perempuan dan jauh dari rumah, Zia membuktikan bahwa tekad dan doa orang tua bisa menjadi kekuatan besar. “Buat saya, semua ini bukan hanya tentang kuliah, tapi tentang masa depan, orang tua, kampung, dan sawit Indonesia,” suaranya terdengar tegas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
Tag Terkait: