Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polemik Bengkaknya Proyek Kereta Cepat Whoosh, INDEF: Seharusnya Diselesaikan B to B, Jangan Menyeret APBN

        Polemik Bengkaknya Proyek Kereta Cepat Whoosh, INDEF: Seharusnya Diselesaikan B to B, Jangan Menyeret APBN Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Program INDEF, Eisha M Rachbini menilai polemik utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh menimbulkan resiko fiskal bagi BUMN.

        Ia menjelaskan proyek ini dari awal skema pembiayaan ditanggung secara bussines to bussines (B to B) akan tetapi ujungnya menjadi beban keuangan negara (APBN) karena harus menanggung utang tersebut.

        "Dari tender kereta cepat Jakarta Bandung itu akhirnya terlihat bahwa skema pendanaannya ditanggung oleh konsorsium BUMN dan perkereta-apian di china. Di mana ada pinjaman China Development Bank 75%, ekuitas konsorsium china 25% dan di Indonesia sendiri tergabung di PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia) yang dipimpin oleh PT KAI bersama BUMN yg lain. Sementara di China diwakilkan oleh China Railways dan perusahaan-perusahaan yang memayunginya," katanya.

        Ia melanjutkan, dilihat dari angka pinjaman 75% CDB dan 25% entitas konsorsium China muncul estimasi angka 5-6 miliar USD dan pinjamannya bisa sampai sekitar 4,5% miliar USD dengan suku bunga jangka panjang.

        "Nah ketika diperjalanan, biayanya muncul cost overrun/peningkatan yang semula 5-6 miliar USD menjadi 7,5 miliar USD belum lagi ditambah kenaikan nilai tukar rupiah, maka praktis berdampak pada nilai total utang. Terlebih adanya pandemi Covid 19 yang pasti akan memperlambat pekerjaan, biaya dll," tambahnya.

        Nah, janji di awal poroyek ini hanya ditanggung oleh B to B namun adanya tekanan-tekanan berubah menjadi adanya dukungan fiskal oleh APBN.

        "Pepres 172/2015 yg menjelaskan pendanaan B to B tanpa melibatkan APBN lalu dievaluasi pada 2021 yang membuka ruang adanya dukungan fiskal APBN," jelasnya.

        Ia melanjutkan pada 2023 disertai pula penyertaan modal negara yang di dalamnya ada Rp2,3 triliun disertakan kepada PT KAI yang menjadi jaminan pemerintah atas pinjaman tambahan dari China Development Bank.

        "Jadi dampak finansialnya, ini adalah besaran kerugian dari PSBI 2023- 2025 memang ada kerugian 0,97 triliun pada 2023 dan 2024 minus 4,2 triliun," tandasnya.

        Akibatnya, terdapat kerugian yang konsisten terus meningkat, bahkan di 2025 telah terlihat minus 1,6 triliun yang menjadi kerugian.

        "Akumulasi kerugian tersebut menandakan bahwa PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) masih menghadapi tekanan pembiayaan dan menjadi masalah yang belum teruraikan penyelesaiannya," jelasnya.

        Bagaimanapun juga kerugian tersebut akan memberikan dampak pada perusahaan yang tergabung dalam konsorsium. 60% kerugian PSBI merupakan atribut dari PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas dalam konsorsium. 

        Ia menilai kinerja secara day to day KCIC memang ada penumpangnya, tapi ternyata di Oktober 2025 dari 12 juta penumpang, di Juni 2025 yang kebetulan bulan libur sekolah, ada record harian yg berdampak pada kinerja perjalanan.

        "Namun actual dari selisih secara optimum sebenarnya bisa di 36 ribu tapi masih ada gap sebesar 22 ribu. Jadi ada gap 40% okupansi kereta cepat yang masih harus ditingkatkan. 

        Terakhir, Kementerian Keuangan menolak untuk membiayai APBN. Seharusnya memang diselesaikan secara B to B yang tidak melibatkan APBN.

        "Maka muncul arah ke restrukturisasi utang proyek, itu yang masih dalam pembahasan, apakah sebagian utang harus dikonversi menjadi ekuitas, lalu menyerahkan aset kepada pemerintah sambil terus bernegosiasi dengan CBD si pemberi utang. Terakhir ada penambahan dana melalui Danantara. Danantara juga harus tetap dilihat bagaimana fisibilitasnya, tata Kelola, jangan sampai gali lubang tutup lubang," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ferry Hidayat
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: