Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Sidang Pemeriksaan Lanjutan Perkara No. 05/KPPU-I/2025 terkait dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5/1999 pada layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending digelar pada Minggu (24/11). Dalam sidang tersebut, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., pakar hukum sekaligus akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hadir sebagai saksi ahli dan memaparkan pandangan kritis mengenai pendekatan hukum persaingan yang diterapkan dalam perkara ini.
Salah satu sorotan utama Prof. Ningrum adalah dugaan adanya perjanjian anti-persaingan yang melibatkan hingga 96-97 pelaku usaha. Menurutnya, dari perspektif hukum persaingan, kemungkinan terjadinya komitmen bersama dalam jumlah sebesar itu nyaris tidak masuk akal.
Ia mencontohkan kasus kartel minyak goreng yang hanya membuktikan concerted action pada 18 perusahaan dari total lebih dari 200 pelaku industri. “Sesama pesaing pasti ingin lebih superior. Cheating itu inherent. Kalau pun ada kesepakatan, pasti ada yang curi start,” ujarnya.
Terkait elemen Pasal 5 UU Persaingan Usaha, ia menegaskan bahwa unsur komitmen kolektif secara horizontal menjadi hal pokok yang harus dibuktikan. Untuk menunjukkan concerted action, diperlukan pembuktian mengenai pertemuan, bentuk komitmen, serta keseragaman tindakan yang konsisten. “Satu saja cheating, kesepakatannya runtuh,” katanya.
Dalam kesaksiannya, Prof. Ningrum juga mengangkat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disebut dalam sidang. Ia menilai bahwa arahan regulator tidak selalu dapat dianggap benar dari perspektif persaingan usaha. Menurutnya, apabila OJK mengarahkan tarif tertentu, itu bisa menjadi kebijakan yang berdampak pada pengaturan pasar. Dalam hal ini, KPPU diingatkan agar tidak represif, melainkan menjalankan tugas sebagaimana diatur Pasal 35E untuk memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Menanggapi dugaan peran asosiasi, Prof. Ningrum menyampaikan bahwa asosiasi memiliki perubahan fungsi dari masa ke masa. Saat ini, umumnya asosiasi bergerak pada fungsi edukasi dan keputusan organisasi, bukan pengaturan pasar. Ia mengingatkan bahwa ketidakpatuhan anggota terhadap imbauan asosiasi justru menunjukkan tidak adanya aksi kolektif. “Kalau sepakat tapi kemudian dilanggar, itu otomatis bubar,” ujarnya.
Ia juga mengklarifikasi pandangan publik mengenai istilah “kartel pinjol”. Menurutnya, tidak semua kartel bersifat terlarang. Ia mencontohkan kartel publik seperti OPEC yang merupakan hasil kebijakan negara untuk tujuan tertentu. Pelanggaran hanya terjadi apabila kesepakatan dilakukan oleh pelaku usaha yang bersaing secara horizontal demi keuntungan ekonominya sendiri.
Dalam sidang, Prof. Ningrum menyoroti penerapan due process of law yang menurutnya harus dijunjung tinggi oleh KPPU. Sebagai lembaga yang menjalankan sistem terintegrasi—dari pemeriksaan laporan hingga putusan—KPPU disebut memiliki beban standar proses peradilan yang lebih berat dibanding lembaga penegak hukum lain yang memiliki mekanisme check and balance internal. Karena itu ia menilai penting bagi KPPU untuk menjaga fairness agar proses penegakan hukum tidak menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak.
Terkait logika hukum yang digunakan dalam perkara ini, Prof. Ningrum menekankan bahwa penentuan pasar bersangkutan merupakan fondasi utama dalam penegakan hukum persaingan. Kesalahan dalam penetapan pasar bersangkutan sejak awal akan berimplikasi pada rancunya proses hukum hingga penetapan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP).
“Kalau sudah tepat secara ekonomi, maka pendekatan hukumnya sudah tepat. Tapi kalau pasar bersangkutannya masih obscure, maka pendekatan hukumnya menjadi kurang tepat,” jelasnya.
Menanggapi keseragaman bunga pinjaman yang dituding sebagai bukti penetapan harga, ia menyatakan perlunya verifikasi menyeluruh atas motif dan pihak yang menentukan tarif. Ia menilai bahwa jika keseragaman terjadi karena kepatuhan terhadap batas atas tarif yang ditetapkan OJK guna melindungi konsumen, maka perlu ada kajian antara tujuan kebijakan dan dampaknya terhadap hukum persaingan. Di sinilah, menurutnya, KPPU dapat menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 35E untuk memberi masukan kepada regulator sebelum mengambil langkah penegakan hukum.
Menutup kesaksiannya, Prof. Ningrum meminta KPPU berhati-hati dalam memproses perkara ini mengingat model sistem peradilan internal lembaga yang menyatukan tahapan pelaporan, penyidikan, hingga putusan. “Testing untuk keadilan dan kebermanfaatannya akan berat. Oleh karena itu prosesnya harus benar-benar dijaga,” tegasnya.
Sidang pemeriksaan lanjutan perkara fintech P2P lending dijadwalkan terus berlanjut untuk mendengarkan keterangan lanjutan dan pembuktian dari para pihak sebelum Majelis Komisi mengambil putusan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: