Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Transmisi BI Repo Rate Diyakini Lebih Cepat

Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) meyakini transmisi instrumen kebijakan moneter BI Repo Rate 7 Hari sebagai pengganti BI rate akan lebih cepat menggerakkan suku bunga di pasar keuangan, termasuk perbankan.

Transmisi instrumen kebijakan moneter BI Rate selama ini dinilai kurang berpengaruh pada tingkat bunga di pasar keuangan, termasuk perbankan. Beberapa kali BI Rate turun. Namun, tingkat suku bunga di bank, terutama pinjaman atau kredit, tidak juga mengalami penurunan.

BI secara resmi memberlakukan instrumen moneter baru yaitu BI Repo Rate 7 Hari sejak 19 Agustus 2016 yang diputuskan melalui Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung 18 s.d. 19 Agustus 2016.

Sejak pertengahan April 2016, BI sudah memulai transisi perubahan instrumen bunga acuan yang sebelumnya menggunakan "Bank Indonesia Rate/BI Rate" dengan referensi tingkat bunga untuk 12 bulan, menjadi tingkat bunga transaksi surat utang berketetapan berjangka waktu 7 hari atau "BI Repo Rate 7 Hari".

Pada masa transisi tersebut hingga Agustus ini, BI masih menggunakan BI Rate sebagai kebijakan suku bunga acuan. Namun, setelah resmi diputuskan pemberlakuannya pada tanggal 19 Agustus 2016, instrumen barulah yang berlaku.

BI meyakini dengan bunga acuan yang mereferensikan suku bunga berjangka waktu 7 hari, transmisi kebijakan moneter BI akan lebih cepat menggerakkan suku bunga di pasar keuangan, termasuk juga suku bunga perbankan.

"Kebijakan yang sebelumnya adalah mencerminkan uang antarbank 12 bulan, sedangkan BI Repo Rate 7 Hari itu mencerminkan uang antarbank bertenor 7 hari," kata Gubernur BI Agus Martowardojo.

BI menyebutkan otoritas moneter itu memberlakukan instrumen baru BI Repo Rate 7 Hari dalam rangka penguatan operasi moneter.

BI mengenalkan dan memberlakukan "BI 7-day Reverse Repurchase (Repo) Rate" agar kebijakan suku bunga dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan, dan sektor riil.

Menurut BI, instrumen BI Repo Rate 7 Hari sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan.

Penguatan kerangka operasi moneter itu merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan "best practice" internasional dalam pelaksanaan operasi moneter.

Kerangka operasi moneter senantiasa disempurnakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan, khususnya untuk menjaga stabilitas harga.

Penguatan kerangka operasi moneter juga mempertimbangkan kondisi makroekonomi yang kondusif dalam beberapa waktu terakhir, yang memberikan momentun bagi upaya penguatan kerangka operasi moneter.

BI mulai mengenalkan instrumen BI Repo Rate 7 Hari sejak April 2016. Pada Rapat Dewan Gubernur BI, 21 April 2016, ditetapkan BI Rate sebesar 6,75 persen dan BI Repo Rate 7 Hari 5,50 persen.

Pada Rapat Dewan Gubernur BI Mei 2016, ditetapkan BI Rate 6,75 persen dan BI Repo Rate 7 Hari 5,50 persen atau tetap. Pada bulan Juni turun, yaitu masing-masing 6,50 persen dan 5,25 persen. Pada bulan Juli 2016, Dewan Gubernur BI mempertahankan tingkat bunga itu.

Pada Rapat Dewan Gubernur BI, 19 Agustus 2016, BI mempertahankan tingkat bunga acuan moneter sebesar 5,25 persen dengan penurunan bunga "Lending Facility" sebesar 100 basis poin menjadi 6,0 persen dari sebelumnya 7,0 persen.

"Tingkat bunga penyimpanan dana di BI (deposit facility rate/DF Rate) sebesar 4,5 persen," kata Gubernur BI Agus Martowardojo.

Sementara Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menyatakan instrumen moneter BI Repo Rate 7 Hari dan formula batas sejajar untuk bunga simpanan dan penyediaan dana oleh bank sentral kepada pihak bank akan efektif menurunkan biaya dana perbankan sehingga pada akhirnya akan menurunkan bunga kredit.

Menurut dia, bunga Repo 7 Hari dengan referensi jangka waktu yang lebih singkat akan meningkatkan pengaruhnya ke pasar keuangan, termasuk biaya dana perbankan dari perolehan dana di pasar uang antarbank (PUAB).

Di samping itu, bank juga mendapat kelonggaran untuk menikmati fasilitas likuiditas lainnya dari fasilitas penyediaan dana oleh BI. Pasalnya, tingkat bunga penyediaan dana rupiah kepada perbankan dari BI atau "lending facility/LF rate" dijaga maksimal 75 basis poin dari tingkat BI Repo Rate 7 Hari.

"Jadi, dengan '7-Day Reverse Repo Rate' itu ditetap 5,25 persen, LF Rate juga akan turun," katanya.

BI juga menjaga batas bawah penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh bank di BI sebesar 75 basis poin dari BI Repo Rate 7 Hari.

Potensi penurunan beban biaya dana tersebut seharusnya dapat diikuti dengan penurunan bunga deposito karena perbankan sudah lebih mudah mendapatkan likuiditas atau tidak perlu mengandalkan penerimaan deposito yang merupakan sumber dana mahal.

Jika bunga deposito dapat turun, perbankan memiliki ruang lebih luas untuk menurunkan bunga kreditnya karena beban yang diperhitungkan ke bunga kredit berkurang.

Namun, Mirza mengatakan bahwa penurunan bunga deposito itu juga akan tergantung pada kepercayaan diri bank untuk tidak khawatir ditinggal para deposan karena menurunkan suku bunga deposito.

"Maka dari itu, penurunan bunga juga akan bergantung pada perilaku deposannya dan faktor lain selain deposito, seharusnya perbankan dapat menerapkan 'pricing' yang lebih fleksibel," kata Mirza.

Era Baru Sejumlah kalangan menilai penggunaan BI Repo Rate 7 Hari sebagai pengganti BI Rate yang telah dipakai selama 11 tahun akan menandai datangnya era baru pengelolaan moneter di Tanah Air karena kondisi dan pengelolaan moneter ke depan akan lebih baik daripada saat penggunaan BI Rate.

Penerapan BI Repo Rate 7 Hari akan menandai datangnya rezim inflasi dan suku bunga rendah di Indonesia yang sedari dahulu sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Selama ini, tingkat inflasi di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara-negara tetangga.

Dalam 6 tahun terakhir, rata-rata inflasi tahunan Indonesia mencapai 5,6 persen. Sementara itu, dalam periode yang sama Filipina sebesar 3,6 persen, Singapura 3,5 persen, Thailand 2,9 persen, dan Malaysia 2,4 persen.

Inflasi yang tinggi berdampak pada banyak hal, salah satunya adalah suku bunga kredit. Makin tinggi inflasi, suku bunga kredit di negara itu juga akan tinggi. Tidak heran, rata-rata suku bunga kredit perbankan di Indonesia mencapai 12,5 persen, sementara Filipina 5,5 persen, Singapura 5,5 persen, Thailand 7,0 persen, dan Malaysia 4,7 persen.

Kondisi itu membuat daya saing pelaku usaha di Indonesia kalah dibandingkan pelaku usaha negara-negara tetangga. Wajar saja jika kemudian kinerja ekspor Indonesia terus merosot.

Inflasi Indonesia tahun 2015 sebesar 3,3 persen. Pada bulan Juli 2016, inflasi tahunan hanya sebesar 3,21 persen. Jika tingkat inflasi ini dapat dipertahankan hingga akhir tahun 2016, hal ini akan jadi inflasi terendah sejak 2009 yang sebesar 2,78 persen.

Ada beberapa faktor yang membuat tingkat inflasi Indonesia ke depan akan rendah, kemungkinan di sekitar 3 s.d. 4 persen. Salah satunya adalah dihapuskannya subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium.

Ada tiga komponen pembentuk inflasi di Indonesia, yakni inflasi inti, inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price), dan inflasi harga pangan yang fluktuatif (volatile food).

Dari komponen-komponen tersebut, pemicu utama inflasi tinggi adalah harga BBM yang diatur pemerintah. Setiap pemerintah menaikkan harga BBM untuk mencegah membengkaknya subsidi, inflasi akan melonjak tinggi karena kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan seluruh harga barang dan jasa.

Kondisi itu membuat inflasi di Indonesia tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya. Apalagi, kenaikan harga bbm juga dipicu oleh pasar global, yang jelas berada di luar kendali Indonesia.

Sepanjang penggunaannya, BI Rate dominan berada di kisaran 6 s.d. 8 persen, dan terakhir pada bulan Juli s.d. Agustus 2016 berada di posisi 6,5 persen. Seiring dengan hal itu, inflasi inti berada di kisaran 4,6 persen.

BI Repo Rate 7 Hari saat ini berada di posisi 5,25 persen. Secara psikologis, orang akan melihat tingkat suku bunga kebijakan yang lebih rendah daripada sebelumnya meskipun BI sebenarnya tidak mengubah stance kebijakannya.

Dengan suku bunga kebijakan yang relatif rendah, ekspekstasi orang terhadap kenaikan harga juga akan menurun sehingga inflasi inti ke depan diperkirakan akan lebih rendah lagi.

Sementara itu, jika inflasi stabil di tingkat yang rendah, suku bunga di Indonesia juga akan turun. Tidak hanya suku bunga bank, tetapi juga suku bunga atau imbal hasil berbagai istrumen di pasar uang dan pasar modal karena memang acuannya adalah inflasi dan suku bunga kebijakan.

Saat ini, rata-rata suku bunga deposito 1 bulan sekitar 6,79 persen, jauh di atas bunga operasi moneter bank sentral tenor satu bulan yang sebesar 5,7 persen.

Pada masa-masa awal digunakan, pergerakan BI Rate mencerminkan pergerakan PUAB O/N karena memang target operasionalnya adalah suku bunga PUAB O/N.

Saat itu, "spread" antara BI Rate dan bunga deposito 1 bulan sekitar 75 basis poin (bp). Namun, pada tahun 2010, Indonesia mulai kebanjiran likuiditas seiring langkah Amerika Serikat melakukan pelonggaran moneter ekstrem, yaitu Quantitative Easing (QE).

Dalam kondisi normal, banjir likuiditas itu seharusnya membuat BI Rate turun. Namun, ternyata inflasi di Indonesia saat itu tetap tinggi akibat kenaikan harga BBM. Karena BI Rate konsisten dengan pergerakan inflasi, bank sentral tidak dapat menurunkan BI Rate di bawah inflasi.

Akibatnya, BI Rate dan target operasionalnya, yakni PUAB O/N bergerak menjauh. Jadi, mulai saat itu, pergerakan BI Rate tidak lagi mencerminkan pergerakan bunga di pasar uang. Masalahnya, pergerakan BI Rate masih menjadi patokan dalam menentukan bunga deposito.

Deposan tetap meminta bunga deposito di atas BI Rate, padahal posisi BI rate sudah terlampau tinggi dan sebenarnya tidak lagi mencerminkan pergerakan suku bunga di pasar. Dampaknya, selisih antara bunga PUAB O/N dan bunga deposito 1 bulan yang awalnya hanya 75 basis poin melebar menjadi 150 basis poin.

Dengan mengganti BI Rate menjadi BI Repo Rate 7 Hari, berarti BI mengembalikan suku bunga kebijakan yang mencerminkan bunga PUAB semalam. Karena BI Rate tidak akan dipakai lagi, deposan dan perbankan akan menjadikan BI Repo Rate 7 Hari sebagai patokan baru untuk menentukan bunga deposito.

Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla menyambut positif pemberlakuan BI Repo Rate 7 Hari sebagai instrumen bunga acuan baru menggantikan BI Rate.

"Kalau Anda ingat, itu adalah suatu program yang sudah disetujui bersama antara BI, pemerintah, dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) 6 bulan lalu, Maret kalau tidak salah bahwa Agustus ini yang akan dipakai adalah BI Repo Rate 7 Hari, bukan lagi BI Rate. Hal itu lebih rendah tentunya karena 7 hari," kata Jusuf Kalla.

Ia merasa optimistis kebijakan baru itu mampu merealisasikan target suku bunga perbankan bisa mencapai 7 persen pada bulan Juni 2017.

Menurut dia, kebijakan itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki perkembangan sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi korban suku bunga tinggi.

"Sebelumnya, KUR (kredit usaha rakyat) pada pemerintah yang lalu 23 persen. Itu juga mungkin salah satu yang menyebabkan gini rasio (kesenjangan kesejahteraan) tinggi karena UKM tidak bisa berkembang akibat biaya tinggi. Sekarang sudah lebih baguslah," kata Kalla. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: