Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revisi UU Migas Diharapkan Perkuat Posisi Pertamina Sebagai NOC

Revisi UU Migas Diharapkan Perkuat Posisi Pertamina Sebagai NOC Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Revisi Undang-Undang Migas di DPR diharapkan mampu memperkuat posisi Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) dan menjadikan Pertamina sebagai representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan lahan migas.

"Revisi UU Migas harus memberikan 'privilege' kepada Pertamina, meliputi pemberian hak utama dalam penawaran lahan migas baru, hak mengakuisisi partisipasi interest dan hak mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir," kata mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi di Jakarta, Selasa (22/11/2016).

Untuk mendukung penguatan tersebut, Fahmy meminta agar RUU Migas segera mengubah kelembagaan SKK Migas, agar lebih sesuai dengan amanah UUD 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu opsinya adalah menyerahkan fungsi dan kewenangan SKK Migas kepada Pertamina.

Fahmy mengingatkan pula bahwa pembahasan revisi UU Migas sudah tertunda lebih dari enam tahun sehingga tidak ada alasan bagi DPR untuk kembali menunda penyelesaian revisi undang-undang tersebut. "Semakin ditunda penyelesaian revisi UU Migas akan menimbulkan ketidakpastian tata kelola kelembagaan migas yang dapat dimanfaatkan oleh mafia migas dalam pemburuan rente," kata dia.

Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah. Ia mendesak Komisi VII agar segera membahas revisi UU No 22 Tahun 2001 tersebut.

"Komitmen DPR atas agenda pembahasan revisi UU Migas tidak boleh lagi hanya sebatas wacana, tetapi harus disertai dengan langkah nyata. Kami berharap setidaknya sampai akhir masa sidang ini sudah ada draft revisi UU Migas versi DPR untuk segera dibahas bersama-sama Pemerintah," kata Maryati.

Ia menegaskan percepatan pembahasan Revisi UU Migas bukan hanya karena putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal UU Migas terdahulu. "Tetapi, juga terkait dengan berbagai persoalan yang menuntut solusi yang sistemik, seperti ancaman nyata krisis energi tahun 2025," ujarnya.

Menurut Ketua Badan Pengawas Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio, tertundanya pembahasan revisi UU Migas sejalan dengan buruknya kinerja legislasi DPR, yang sampai 9 November 2016 hanya menyelesaikan 18 persen dari seluruh target UU saja. "Lambannya pembahasan Revisi UU Migas, makin diperburuk dengan senyapnya proses di Komisi VII," kata Sulastio.

Berdasarkan catatan IPC, kata Sulastio, seluruh rapat pembahasan RUU Migas bersifat tertutup. Selain itu, ruang partisipasi masyarakat juga sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak secara terbatas, yaitu mitra dari pemerintah. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: