Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

BI, Kebijakan Moneter Seimbang, dan The Fed (1/3)

BI, Kebijakan Moneter Seimbang, dan The Fed (1/3) Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meskipun mengakui tekanan ekonomi global dan domestik semakin menguat pada 2017, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter mengklaim kebijakannya belum akan kembali ke era moneter ketat, melainkan "seimbang" antara stabilitas dan pemulihan pertumbuhan ekonomi.

Sepanjang tahun 2015, Bank Sentral memperketat kebijakan moneter di tengah ancaman ketidakpastian dari normalisasi moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Hal tersebut agar stabilitas makro ekonomi domestik terjaga.

Pada awal tahun shio monyet api ini, Bank Indonesia seolah berbalik arah dari 2015 ketika pengetatan moneter membuat perbankan keder, menjadi otoritas yang kerap obral kebijakan moneter longgar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di pertengahan tahun melontarkan pernyataan bahwa "stabilitas sudah bukan isu". Hal itu karena laju inflasi yang terkendali dan berada di bawah empat persen, atau di rentang bawah proyeksi BI di tiga hingga lima persen.

"Kalau ada ruang untuk mendorong pertumbuhan, kita tidak akan segan-segan untuk melakukan itu," ujar Perry.

Arah kebijakan moneter yang longgar sepanjang tahun ini terlihat dengan langkah BI memangkas suku bunga acuannya enam kali sebesar 150 basis poin atau 1,5 persen, menjadi sebesar 4,75 persen. Bank Sentral juga mengganti instrumen bunga acuan yang telah usang agar dapat lebih memengaruhi pasar.

Setelah 11 tahun, instrumen Bank Indonesia Rate/BI Rate yang bertenor 12 bulan diganti menjadi suku bunga transaksi surat utang bersyarat bertenor tujuh hari atau "7-Day Reverse Repo Rate". Tidak lupa, BI juga menurunkan rasio Giro Wajib Minimum Primer (GMW-P) sebesar 150 basis poin sejak Desember 2015 untuk menambah aliran likuiditas perbankan.

Pergeseran arah kebijakan yang telah dilakukan Bank Sentral pada tahun ini karena indikator fundamen Indonesia terus membaik. Selain laju inflasi yang terus terjaga, indikator fundamen ekonomi seperti neraca transaksi berjalan, dan transaksi finansial membaik.

Hingga November 2016, inflasi tahun kalender sebesar 2,59 persen (year to date/ytd) sedangkan inflasi tahunan November 2016 sebesar 3,58 persen (year on year/yoy). Hal ini membuat Bank Sentral percaya diri memerkirakan inflasi tahun ini akan berada di 3-3,2 persen (yoy).

Begitu juga dengan perbaikan indikator yang merekam transaksi barang dan jasa antara penduduk Indonesia dengan luar negeri. Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan III-2016 sebesar 1,83 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau menurun dibanding triwulan II-2016 yang sebesar 2,16 persen dari PDB.

Berbagai kalangan memerkirakan perbaikan ekspor akan terus berlanjut di sisa tahun ini karena meningkatnya harga komoditas dan pemulihan ekonomi Cina, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dengan begitu, BI memerkirakan defisit neraca transaksi berjalan tahun ini menjadi 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto atau lebih rendah dibanding 2016 yang sebesar 2,04 persen dari PDB.

Namun keleluasaan BI tahun ini tampaknya tidak akan berlangsung lama. Pada tahun depan, dengan lahirnya ketidakpastian baru dari Amerika Serikat dan ekonomi global, di tambah ancaman domestik dari meningkatnya inflasi, BI harus mengencangkan ikat pingang dan berpikir puluhan kali untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. (Ant/Indra Arief Pribadi)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: