Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menjaga Keberlangsungan Investasi di Indonesia

Menjaga Keberlangsungan Investasi di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah maraknya isu investasi berbasis teknologi atau yang dikenal dengan sebutan industri 4.0, sebuah potensi dampak yang perlu dipikirkan dan dilakukan, baik oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya adalah menjaga agar para investor di Indonesia tidak beralih ke negara lain.

Sebab investasi menjadi satu-satunya andalan untuk tetap memacu pertumbuhan perekonomian dan membuka lapangan kerja. Hal itu penting di tengah potensi 50 juta orang di Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan karena revolusi industri 4.0.

Anggota DPR RI, Eka Sastra, mengatakan, terkait industri 4.0, proses produksi sudah menggunakan big data. Hal ini yang membedakan industri 4.0 dengan industri pada gelombang-gelombang sebelumnya.

"Soal revolusi industri 4.0 ini bukan soal siap atau tidak, tapi bagaimana kita terlibat di dalamnya," ujarnya dalam diskusi Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) bertajuk "Menjaga Kelangsungan Investasi Indonesia" di Jakarta, Selasa (5/6/2018).

Dalam diskusi yang sama, pengamat ekonomi dari UGM, Tony Prasetiantiono, menyampaikan, pemerintah sejauh ini sudah menyiapkan lima sektor industri untuk dihadapkan pada revolusi industri 4.0. Sektor itu adalah makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia.

Sementara industri lainnya, di luar kelima sektor tersebut tetap akan berkontribusi pada perekonomian Indonesia, baik sebagai penyumbang pendapatan negara serta penyerap tenaga kerja. 

Lebih lanjut kata dia, salah satu upaya Indonesia untuk stabilitas rupiah salah satunya adalah dengan mengandalkan ekspor dan investasi. Faktor-faktor itu saling berkaitan sebab untuk ekspor diperlukan kegiatan industri dan industri amat erat berkaitan dengan investasi.

"Pemerintah sudah bekerja keras untuk menarik investasi sebanyak mungkin," ujarnya. 

Namun berkebalikan dengan hal tersebut, fakta di dalam negeri menunjukkan sejumlah investor justru merasa tidak nyaman. Alasan utamanya adalah adanya regulasi-regulasi tertentu yang berujung peningkatan biaya produksi.    

Regulasi yang muncul salah satunya dilatarbelakangi oleh perlunya pemerintah meningkatkan pendapatan negara yang kemudian diwujudkan dengan menaikkan tarif pajak, bea, cukai, dan retribusi. Hal tersebut menyebabkan para pelaku industri dalam kondisi dilematis. Mereka pun terpaksa menahan produksi untuk menghindari peningkatan biaya.

Peningkatan kapasitas produksi akan mengarahkan aktivitas usaha berbalik dari menghasilkan keuntungan menjadi pemicu kerugian. Sebab, peningkatan produksi berarti peningkatan jumlah pajak, bea, cukai, dan retribusi yang harus dibayar.

Hal ini dibenarkan oleh Toni Tanduk dari Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia. "Jika Indonesia ingin mengajak pihak lain untuk berinvestasi, perlu diperhitungkan bagaimana menjaga keberlangsungan investasi itu di Indonesia," kata dia.

Senada dengannya, Toni Prasetiantiono menambahkan pentingnya menghadapi persaingan investasi dengan negara-negara lainnya seperti vietnam dan sebagainya.

"Dukungan terhadap investasi yang sudah ada di Indonesia menjadi penting, misalnya dengan membangun infrastruktur dan membuat regulasi-regulasi yang menunjang kegiatan produksi," tambahnya.  

Industri bisa saja mengurangi kapasitas produksi untuk mencegah kerugian. Dalam skenario itu, negara dan pekerja akhirnya akan ikut merugi. Sebab, negara dan pekerja kehilangan potensi pendapatan. Negara juga merugi karena lapangan kerja gagal tercipta akibat industri menahan atau bahkan memangkas produksi. 

Jika keadaan itu berlanjut, investor akan memilih hengkang ke negara lain yang lebih mendukung pengembangan modalnya. Skenario itu tidak bagus untuk Indonesia yang tengah bekerja keras menarik investasi sebanyak mungkin. Calon investor bukan tidak mungkin akan menghapus Indonesia dari daftar calon lokasi penanaman modal jika ada fakta yang mengungkap bahwa banyak investor di Indonesia malah justru memindahkan usaha ke negara lain.

Dalam diskusi FDEP, Eka Sastra turut memberi contoh dari industri tembakau. Dirinya mengatakan bahwa regulasi terkait tembakau yang dianggap tidak jelas dapat menjadi penyebab utama investor di industri ini enggan mempertahankan bisnisnya di Indonesia.

Hal ini dapat memberi dampak krusial, seperti diketahui pada 2017 sektor tembakau menyumbangkan Rp149 triliun atau 10% dari target pendapatan APBD. Sektor itu juga mempekerjakan total 6,4 juta orang yang terdiri dari petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik, hingga pekerja di sektor distribusi produk tembakau.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: