Sejumlah pelaku usaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi, seperti Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi), Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (Apdupi), dan Asosiasi lndustri Olefin, Aromatik dan Plastik lndonesia (Inaplas) menolak rencana pemberian insentif oleh pemerintah kepada Pemda yang menerbitkan Perda Larangan Penggunaan Kantong Plastik.
Menurut sejumlah asosiasi usaha tersebut, insentif yang akan diberikan pemerintah tidak efektif dan tidak tepat sasaran serta akan mematikan pelaku usaha UMKM di sektor tersebut.
Insentif tersebut dinilai tidak akan menyelesaikan masalah sampah plastik di negeri ini. Menurut Suhat Miyarso Wakil Ketua Asosiasi Inaplas, insentif pemerintah tersebut justru akan membuat pemda menjadi tidak kreatif dalam mencari solusi penanganan sampah termasuk sampah plastik.
“Plastik itu sebenarnya bermanfaat buat kehidupan. Ketika sudah menjadi sampah, dan mengganggu lingkungan, maka yang harus dibenahi adalah manajemen sampahnya. Bukan mematikan industri plastiknya, dengan menerbitkan perda larangan plastik,” ucap Suhat, dalam keterangnya, di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Inaplas mengusulkan agar insentif tersebut dicabut dan diberikan kepada pemerintah daerah yang memilih meningkatkan kinerja pengelolaan sampah, sesuai Undang Undang Pengelolaan Sampah nomor 18 tahun 2008, melalui metode pilah, angkut, olah dan jual (Manajemen Sampah Zero), tanpa memberlakukan larangan pemakaian kantong belanja plastik. Dengan metode ini semua sampah dapat ditangani seluruhnya langsung di sumbernya, sehingga tidak di perlukan tipping fee dan tempat pemrosesan akhir. Sejumlah pemda tersebut telah bekerja lebih keras dan lebih cerdas sehingga pantas mendapat insentif.
Sejumlah Pemerintah Daerah yang memilih untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah dari pada melarang penggunaan kantong belanja plastik, diantaranya adalah: Cirebon, Cilegon, Wonosobo, Tangerang, Banyumas, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Pekan Baru, Rokan Hilir, TapanuliTengah dan Natuna.
Senada, Ketua Umum Adupi, Christine Halim seharusnya pemerintah bisa menyontoh program waste management modern yang dilakukan sejumlah negara, seperti Singapura, Hongkong dan lainnya, ketimbang melarang penggunaan kantong plastik. Menurutnya jika merujuk pada pengolahan sampah di sejumlah negara tersebut, mereka tidak dipusingkan dengan tumpukan sampah, termasuk sampah plastik yang sampai terbawa ke laut.
“Ketimbang memberikan insentif yang membuat pemda tidak kreatif, akan jauh lebih baik, insentif tersebut dialihkan untuk membuat sistem pengolahan sampah yang modern. Hal itu juga akan membantu para pemda, yang pusing mencari lokasi penimbunan sampah,” papar Christine Halim
Saut Marpaung, Ketua Umum Apdupi menyampaikan jika tujuan utamanya adalah mencegah kerusakan lingkungan hidup, maka yang terpenting adalah masyarakat perlu mendapat edukasi kuat untuk memilah sampah plastik di rumah tangga, sebelum dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan tidak membuang sampah plastik sembarangan. Artinya, peran masyarakat sangat penting dalam mengurangi sampah plastik.
Saut menyampaikan, penyebab utama sampah plastik di Indonesia adalah warga yang membuang sampah sembarangan, bukan plastiknya. Berdasarkan hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 85% sampah di TPA adalah sampah organik, sedangkan sampah plastik hanya 12%.
“Belum adanya sistem tata kelola daur ulang plastik menjadi salah penyebab permasalahan sampah plastik di Indonesia. Ia mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan, baik swasta maupun pemerintah untuk terus giat mengedukasi masyarakat terkait dampak positif dari sampah plastik” ujar Saut Marpaung.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin Taufik Bawazier menyampaikan untuk mengurangi sampah plastik yang paling dibutuhkan adalah peran masyarakat dalam mengurangi sampah plastik. Sangat penting masyarakat mendapat edukasi yang kuat untuk memilah-milah sampah plastik di rumah tangga sebelum dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan tidak membuang sampah plastik sembarangan.
“Dalam pengelolaan sampah, baik masyarakat, industri daur ulang dan pemulung yang biasa memungut sampah plastik juga perlu dibina untuk bisa memilah-milah sampah plastik,” kata Taufik.
Dia menuturkan, dibalik sampah plastik ada nilai ekonomis, untuk itu mindset yang melihat plastik sebagai sampah harus di ubah menjadi meilihat plastik sebagai bahan baku. Plastik-plastik yang diklaim sebagai penyebab kontribusi sampah di laut bisa diambil dan dinilai tambahkan di industri daur ulang, sehingga bisa menciptakan daya saing industri yang kebih kuat.
“Itu poin besarnya sesungguhnya. Jadi, mindset kita harus melihat plastik sebagai bahan baku. Ini perlu edukasi ke semua lapisan masyarakat,” kata dia.
Dia mengatakan, bahan baku plastik (scrap) menyumbang devisa mencapai US$ 40 juta pada 2017. “Jadi kalau dikatakan kita impor scrap US$ 50 juta, kita bisa ekspor US$ 90 juta. Saya kira teknologi yang perlu dikembangkan adalah pengolahan hasil sampah yang ada di lingkungan perlu ditingkatkan,” kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri