JK: Pengusaha yang Kuasai Teknologi Akan Jadi Juara di Era Ekonomi Saat Ini
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, ekonomi ke depan akan sangat bergantung pada teknologi, termasuk artificial intelligence (AI) dan bioteknologi. Untuk itu, demi memajukan perekonomian Indonesia, diperlukan segitiga kerja sama antara pemerintah yang membuat regulasi, ilmuan yang mengembangkan teknologi, dan enterpreneurship. Hanya gabungan tiga hal ini yang bisa memajukan pangsa pasar besar seperti Indonesia.
"Kalau kita enggaj kuasai teknologi ini, kita yang dikuasai mereka. Sekarang empat perusahaan, Google, Amazon, Apple, Facebok, kita dimonopoli mereka. Setidaknya dua jam sehari, kita berhubungan dengan mereka. Positifnya (kita) bisa dapat informasi apa pun," kata dia di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi Tak Tercapai, Perlukah Pemerintah Dievaluasi?
Ditambahkannya, untuk mengatasi semua tantangan akhirnya diperlukan enterpeneurship yang menguasai teknologi. Zaman dulu, sedikit saja merugi, nilai perusahaan jatuh. Zaman sekarang justru terbalik, beragam startup yang merugi malah nilainya makin naik. Teknologi telah membuat ekonomi sudah banyak berubah.
"Sekali lagi saya yakin ekonomi kita meski ada pemilu, kita aman aman saja. Kalaupun ada perang dagang terus antara China dan AS, AS akan beli dari negara selian China, akan pindahkan investasi (ke) Thailand, Vietnam atau kita. Apapun yang terjadi sebenarnya Indonesia oke-oke saja. Tetap ada aspek positifnya," tambah dia.
JK melanjutkan, selain teknologi, Indonesia juga harus terus melakukan debirokratisasi dan belajar dari tahun 80-90an. Pada tahun itu, Asian Tiger King Singapura dan Korsel, mereka menggerakan ekonomi persaingan dalam negeri agar efisien. Industri diproteksi dengan kontrol pemerintah atas devisa dan sumber keuangan lainnya. Hasil ekspor dan industri diberi insentif.
Baca Juga: Menkominfo Minta Program Literasi Digital Dikaji Ulang
"Lalu China maju, ada tiga hal, karena infrastruktur, investasi, dan ekspor. Itu yang menggerakan ekonomi China sehingga jadi eksportir terbesar di dunia. Kita tentu punya banyak pilihan, SDA yang kaya ini tentu bisa habis. 90-an kita masih ekspor minyak, sekarang impor. Artinya, selalu ada risiko dan keterbatasan SDA," tambah dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: