Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kisah Hidup Robert Mugabe: Pejuang Kemerdekaan hingga Autokrat

Kisah Hidup Robert Mugabe: Pejuang Kemerdekaan hingga Autokrat Kredit Foto: Reuters/Philimon Bulawayo
Warta Ekonomi, Harare -

Robert Mugabe adalah nama yang akan selalu melekat di benak rakyat Zimbabwe. Sejarah hidupnya bak dua sisi mata uang, seorang pejuang kemerdekaan bagi rakyatnya namun berubah menjadi penindas saat berkuasa.

Seperti dikutip dariĀ Reuters, Jumat (6/9/2019), Mugabe dipuji sebagai pahlawan pembebasan Afrika dan rekonsiliasi rasial ketika pertama kali berkuasa di sebuah negara yang terbagi oleh hampir satu abad pemerintahan kolonial kulit putih.

Hampir empat dekade kemudian, banyak orang di dalam dan luar negeri mencelanya sebagai seorang autokrat yang terobsesi dengan kekuatan yang mau melepaskan pasukan pembunuh, pemilu yang curang, dan menghancurkan ekonomi dalam upayanya yang tak kenal lelah terhadap kontrol negara.

Baca Juga: Mantan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe Wafat di Singapura

Mugabe lahir pada 21 Februari 1924, di misi Katolik Roma di dekat Harare. Ia dididik oleh para pastor Yesuit dan bekerja sebagai guru sekolah dasar sebelum kemudian pergi ke Universitas Fort Hare di Afrika Selatan. Universitas ini di kemudian hari menjadi tempat berkembang biaknya nasionalisme Afrika.

Kembali ke Rhodesia pada 1960, Mugabe memasuki dunia politik. Dinginnya lantai penjara pun harus dirasakannya selama satu dekade empat tahun karena menentang pemerintahan kulit putih.

Ketika putranya yang masih bayi meninggal karena malaria di Ghana pada 1966, Mugabe ditolak bebas bersyarat untuk menghadiri pemakaman. Keputusan yang diambil oleh pemerintah pemimpin minoritas kulit putih, Ian Smith ini menurut para sejarawan berperan dalam menjelaskan kepahitan Mugabe selanjutnya.

Setelah dibebaskan, ia naik ke puncak Tentara Pembebasan Nasional Afrika Zimbabwe yang kuat, yang dikenal sebagai "gerilyawan pemikir" karena tujuh derajatnya, tiga di antaranya diperoleh dari jeruji.

Setelah perang berakhir pada 1980, Mugabe terpilih sebagai perdana menteri kulit hitam pertama di negara itu.

Awalnya, Mugabe menawarkan pengampunan dan rekonsiliasi kepada musuh-musuh asing dan domestik, termasuk Smith, yang memilih untuk menetap di tanah pertaniannya dan terus menerima pensiun pemerintah.

Pada tahun-tahun awalnya, ia memimpin ekonomi Zimbabwe yang berkembang pesat. Ia membangun jalan dan bendungan, memperluas sekolah untuk warga kulit hitam Zimbabwe sebagai bagian dari pembongkaran besar-besaran diskriminasi ras pada masa penjajahan.

Tapi itu tidak lama sebelum Mugabe mulai menekan para penantangnya, termasuk pesaingnya dalam perang pembebasan Joshua Nkomo.

Dihadapkan dengan pemberontakan pada pertengahan 1980-an di provinsi barat Matabeleland yang ia salahkan pada Nkomo, Mugabe mengirim unit-unit tentara terlatih Korea Utara (Korut), memprovokasi protes internasional atas dugaan kekejaman terhadap warga sipil.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan 20.000 orang tewas, sebagian besar dari mereka berasal dari suku minoritas Ndebele tempat sebagian besar pendukung Nkomo ditarik. Penemuan kuburan massal memicu tuduhan genosida.

Setelah dua periode sebagai perdana menteri, Mugabe mempererat cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengubah konstitusi, dan ia menjadi presiden pada 1987. Istri pertamanya, Sally, yang dipandang oleh banyak orang sebagai satu-satunya orang yang mampu mengendalikannya, meninggal pada 1992.

Satu titik balik terjadi pada akhir dekade ketika Mugabe, yang kini menjadi pemimpin yang tidak lagi terbiasa mengakomodasi keinginan rakyat, mengalami kekalahan terbesar pertamanya di tangan para pemilih dalam sebuah referendum mengenai konstitusi. Ia lantas menyalahkan kekalahannya kepada kelompok minoritas kulit putih dan menghukum mereka sebagai "musuh Zimbabwe."

Beberapa hari kemudian, gelombang kemarahan pada lambatnya reformasi tanah mulai mendidih dan gerombolan warga Zimbabwe kulit hitam yang menyebut diri mereka veteran perang mulai menyerbu pertanian milik kulit putih.

Tanggapan Mugabe tanpa kompromi, menyebut invasi itu koreksi ketidakadilan kolonial.

"Mungkin kita melakukan kesalahan dengan tidak menyelesaikan perang di parit," katanya pada tahun 2000.

"Jika para pemukim telah dikalahkan melalui laras pistol, mungkin kita tidak akan memiliki masalah yang sama," imbuhnya.

Penyitaan pertanian membantu menghancurkan salah satu ekonomi paling dinamis di Afrika, dengan jatuhnya pendapatan valuta asing pertanian memicu hiperinflasi.

Ekonomi menyusut lebih dari sepertiga dari tahun 2000 hingga 2008, membuat tingkat pengangguran di atas 80 persen. Beberapa juta warga Zimbabwe melarikan diri, kebanyakan ke Afrika Selatan.

Mengesampingkan kritik, Mugabe menggambarkan dirinya sebagai nasionalis radikal Afrika yang bersaing melawan pasukan rasis dan imperialis di Washington dan London.

Negara itu mencapai titik terendah pada 2008, ketika inflasi 500 miliar persen mendorong orang untuk mendukung tantangan mantan pemimpin serikat buruh yang didukung Barat, Morgan Tsvangirai.

Menghadapi kekalahan dalam pemilihan presiden, Mugabe melakukan kekerasan, memaksa Tsvangirai untuk mundur setelah sejumlah pendukungnya terbunuh oleh preman ZANU-PF, partai Mugabe.

Afrika Selatan, tetangga Zimbabwe di selatan, meminta keduanya untuk bersatu dalam koalisi persatuan yang terpecah-pecah. Namun kompromi itu memungkiri cengkeraman Mugabe pada kekuasaan melalui kontrolnya yang terus-menerus terhadap tentara, polisi dan dinas rahasia.

Masuk ke usia lanjut dan muncul desas desus dirinya menderita kanker, permusuhannya terhadap Tsvangirai mereda. Kedua lelaki itu menikmati pertemuan mingguan sambil minum teh dan scone, dengan anggukan kasih sayang Mugabe terhadap tradisi Inggris.

Menjelang pemilu 2013, Mugabe membantah jika dirinya diktator dan menyamakan perseteruannya dengan Tsvangirai dengan perdebatan di atas ring.

"Meskipun kami saling bertinju, itu tidak bermusuhan seperti sebelumnya," katanya kepada wartawan.

Ketika kesehatan mental dan fisiknya berkurang, Mugabe hanya mempercayai sedikit orang ketika ia tampaknya berusaha memperlancar jalan menuju suksesi untuk istrinya Grace. Istrinya berusia empat dekade lebih muda darinya dan dikenal oleh para pengritiknya sebagai "Gucci Grace" karena kesukaannya akan belanja mewah.

Grace juga diduga menjadi sosok yang berada di balik terpecahnya partai Mugabe, ZANU-PF, yang berkuasa hingga akhirnya kalah dalam perebutan kekuasaan dengan para pendukung Mnangagwa, yang dekat dengan militer.

Mugabe dipaksa turun dari kursi kekuasaan oleh militer pada November 2017 menyusul aksi protes nasional. Ia awalnya sempat mengabaikan seruan untuk lengser. Dia menunjukkan kegigihannya -beberapa orang mungkin mengatakannya keras kepala- sampai akhir hayatnya, menolak untuk menerima pengusirannya dari partainya ZANU-PF dan bertahan selama seminggu sampai parlemen mulai memakzulkan dia setelah kudeta de facto.

Baca Juga: Wooow... Inflasi Zimbabwe Tembus 175,66 Persen

Pada 21 November 2017 ia mengumumkan pengunduran dirinya yang sontak dirayakan dengan liar oleh 13 juta warga Zimbabwe di jalan-jalan ibu kota Harare.

Bagi Mugabe, itu merupakan tindakan pengkhianatan yang "tidak konstitusional dan memalukan" oleh partai dan rakyatnya, dan meninggalkannya sebagai orang yang hancur.

Jelang pemilu pada Juli 2018 lalu, di mana untuk pertama kalinya ia tidak ikut bertarung, Mugabe mengatakan kepada wartawan bahwa dia akan memilih oposisi, sesuatu yang tidak terpikirkan hanya beberapa bulan sebelumnya.

Dikurung selama sisa tahun hidupnya di antara Singapura, di mana dia menerima perawatan medis, dan rumah besar "Atap Biru" di Harare, Mugabe yang sakit hanya bisa mengamati dari jauh panggung politik di mana dia pernah melangkah tinggi. Dia hidup dalam kepahitan sampai akhir hayatnya akibat jatuh dari kekuasaan.

Hari ini, Mugabe menghembuskan nafas terakhirnya di Singapura dalam usia 95 tahun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: