Director Chief Economist and Head of Research PT Samuel Aset Management Lana Soelistianingsih menilai bank sentral dalam hal ini Bank Indonesia (BI) memiliki ruang lebih terbatas untuk menurunkan suku bunga acuan di tahun ini. Untuk diketahui sepanjang 2019 BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 100bps hingga menjadi 5 persen.
Menurut lana, bila bank sentral terus menurunkan suku bunga acuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka surat utang negara atau harga obligasi pemerintah akan naik.
"Kalau bunga diturunkan harga obligasi indonesia mahal. Kalau harganya mahal, bisa jadi investor nggak beli. Dengan konteks itu BI agak terbatas untuk menurunkan bunga lagi karena ada potensi obligasi kita menjadi lebih mahal," katanya dalam seminar Smart Outlook Economic yang bertemakan “Jurus-jurus Bisnis Menyiasati Resesi Ekonomi Global” di Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Dengan kondisi demikian, lanjut lana, risikonya dana asing yang masuk ke Indonesia akan berkurang dan berimbas pada semakin lebarnya defisit transaksi berjalan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keinginan pemerintah yang ingin menurunkan defisit transaksi berjalan.
Baca Juga: Buka Tahun 2020, BI Tahan Suku Bunga Acuan Tetap 5,00%
"Dilemanya adalah pertumbuhan ekonomi atau CAD. Itu memang kondisi yang berlawanan, milih pertumbuhan ekonomi, CAD naik. Milih CAD yang turun, ada potensi pertumbuhan ekonomi kita relatif flat saja," ungkapnya.
Meski demikian Lana menyarankan, untuk jangka pendek mengambil opsi pertumbuhan ekonomi bisa menjadi pertimbangan. "Yang paling aman untuk jangka pendek ini mungkin lebih baik memilih pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil," ucapnya.
Kendati demikian, lanjut dia, untuk jangka panjang pemerintah perlu membangun investasi langsung luar negeri (foreign direct investment), oleh sebab itu rencana Omnibus Law harus cepat terealisasikan. Adapun omnibus law diperkirakan akan memudahkan jalan investor asing melakukan investasi langsung di Indonesia.
Berdasarkan peringkat Ease of Doing Business, Indonesia masih stagnan berada di posisi 73, sementara itu Thailand naik dari ke 27 ke 25, Malaysia dari 15 ke 12, China dari 44 ke 37.
"Artinya apa, ketika investor mau masuk ke Indonesia sementara Thailand, Malaysia lebih bagus, Indonesia kurang dipertimbangkan, pemerintah harus kerja keras untuk meningkatkan peringkat ini," katanya.
Ia menilai investasi luar negeri langsung memang efektif untuk jangka panjang namun tidak untuk jangka pendek karena prosesnya lama dan melibatkan sektor riil.
"FDI pemerintah sedang berusaha memperbaiki iklim usaha besar kemungkinan agak lambat, kalau kemungkinan FDI udah masuk dia susah untuk keluar lagi karena bawa barang, beli tanah, bawa mesin urusannya sektor riil enggak mudah," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: