Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan harga saham PT PGN Tbk yang sempat terkoreksi akibat wacana penurunan harga gas industri akan beresiko mengurangi kepercayaan investor.
"Ini bisa berdampak kepada harga saham PGN, di mana BPJS Ketenagakerjaan memiliki porsi tertentu dari saham PGN," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (17/2/2020).
Baca Juga: PGN Bangun Terus Infrastruktur, Mau Jangkau Beragam Pelanggan
Baca Juga: K3S Bisa Untung Besar, Kok PGN Dipaksa Merugi?
Lanjutnya, ia mengatakan penurunan harga saham akibat ketidakpastian yang bisa juga merugikan investasi saham BPJS Ketenagakerjaan di PGN.
Sambungnya, di satu sisi, pemerintah bisa mengambil sejumlah langkah strategis untuk menurunkan harga jual gas untuk kalangan industri.
Namun, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah penyesuaian harga gas bumi bisa dilakukan dengan menyesuaikan harga gas bumi yang dibeli dari kontraktor.
Jelasnya, ketika harga gas di hulu juga disesuaikan oleh kontraktor kontrak kerja sama (K3S), PT PGN Tbk wajib menyesuaikan harga gas bumi yang dijual kepada pengguna gas bumi.
"Di satu sisi, untuk menekan harga jual gas industri, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan Perpres No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi," ujarnya.
Menurut dia, perpres tersebut salah satunya mengatur apabila harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari USD 6 per MMBTU, maka menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bumi tertentu bagi tujuh sektor industri, meliputi pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Tambahnya, pengurangan pendapatan negara terkait kebijakan penurunan atau penyesuaian harga gas bumi ini tidak berasal dari PGN.
Alasannya, pasal 6 Perpres 40/2016 telah mengatur bahwa kepala SKK Migas melakukan perhitungan penerimaan negara atas penetapan harga gas bumi tertentu dengan berkoordinasi dengan menteri ESDM dan menteri Keuangan dengan tidak memengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian kontraktor.
"Artinya, apabila pemerintah akan melakukan penyesuaian harga gas bumi tertentu sesuai amanat Perpres No 40/2016, pemerintah harus menghitung kembali dengan mengurangi atau menyesuaikan porsi penerimaan negara pada sektor hulu (pembelian gas Bumi ke kontraktor)," jelas dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan setelah adanya penyesuaian harga gas bumi tertentu dengan menyesuaikan porsi penerimaan negara tanpa mengurangi bagian penerimaan kontraktor.
"Namun, mengingat pula banyaknya badan usaha gas bumi di Indonesia, PGN belum dapat dikatakan menjadi agregator gas nasional," katanya.
Kemudian, sambungnya, terkait fungsi pengawasan dan transparansi soal harga gas yang ditetapkan melalui keputusan pemerintah, Alamsyah berkata bahwa sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam Permen ESDM No 14/2019 Jo. Permen ESDM No 58/2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Sementara itu, mantan Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng berpendapat, kekisruhan harga gas industri secara khusus maupun sektor migas lainnya secara umum, lebih disebabkan karena selama ini UU Migas No 22/2001 belum di revisi.
"Banyak pasal yang sdh dihapus dan dibatalkan. Bisnis proses sektor migas saat ini jadi tidak karuan, kalau semua UU harus mengacu kepada konstitusi, dalam hal ini UUD 45," kata Andy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil