Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal Cetak Uang Rp600 Triliun, CORE: Bisa Inflasi, Tapi...

Soal Cetak Uang Rp600 Triliun, CORE: Bisa Inflasi, Tapi... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi -

Ada usulan buat pemerintah untuk mengatasi defisit keuangan yakni mencetak uang baru. Usulan mencetak uang ini datang dari Badan Anggaran DPR saat menggelar rapat dengan Bank Indonesia pada pekan lalu (29/4/2020).

Banggar DPR merekomendasikan BI mencetak uang sebesar Rp400-600 triliun untuk menyelamatkan perekonomian Tanah Air.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah juga punya pendapat yang sama. Hal ini ia sampaikan mengingat stimulus yang diberikan pemerintah untuk sektor usaha masih tergolong kecil, sekitar Rp405 triliun.

"Kadin menyebut stimulus yang dibutuhkan sekitar Rp1.600 triliun," katanya di Jakarta, Sabtu (2/5/2020).

Artinya, ia memastikan masih ada selisih yang cukup besar untuk menambal kebutuhan stimulus sebesar Rp1.600 triliun. Piter juga mengamini bahwa sulit mencari pembeli Surat Berharga Negara (SBN) di tengah ketidakpastian pasar seperti saat ini. Praktis, pembiayaan dari BI sangat dibutuhkan. Instrumennya bisa mencetak uang.

Piter memprediksi dampak kebijakan pencetakan uang ini akan mengerek inflasi. Tapi, tidak akan besar karena inflasi masih bisa diatur. Ia memberi contoh bahwa hampir semua negara maju mencetak uang lebih banyak dari biasanya seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, maupun Jepang.

"Pemerintah sudah mengeluarkan Perppu agar BI bisa membiayai fiskal. Lakukan itu," pungkasnya.

Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan pihaknya tidak akan mencetak uang tambahan untuk menambah dana maupun likuiditas perbankan atau menambal defisit anggaran pemerintah. Pertimbangannya, ia tidak ingin mengulang kasus BLBI yang menyebabkan inflasi hingga 67 persen. 

"Salah satunya, BLBI kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah. Surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunga mendekati nol. Kemudian inflasi naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas. Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," kenang Perry. 

Dalam hal ini, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli SBN di pasar sekunder. Perluasan operasi moneter juga dilakukan demi menambah likuiditas. 

Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat pandemi corona.

"Beda dengan yang kita lakukan sekarang. Operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing," pungkas Perry.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: