Catatan Akhir Tahun: Investasi dan Industri sebagai Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8%
Universitas Paramadina bekerja sama dengan INDEF menggelar diskusi online bertajuk “Catatan Akhir Tahun: Investasi dan Industri sebagai Faktor Kritis dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%” pada 23 Desember 2024.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah pembicara ahli, yaitu Dr. Ariyo DP Irhamna (Dosen Universitas Paramadina/Ekonom INDEF), Dr. Handi Risza Idris (Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina), dan Dr. Imaduddin Abdullah (Direktur Kolaborasi Internasional INDEF), dengan moderator Nur Komaria, peneliti INDEF.
Baca Juga: INDEF Sebut Cuma China yang Bisa Senggol Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Indonesia Mungkin?
Dalam diskusi ini, Dr. Ariyo DP Irhamna menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap China dalam perdagangan internasional. Sejak 2004, China telah menjadi eksportir utama ke Indonesia, dengan pangsa meningkat dari 9% menjadi 28% pada 2023. Hal ini mencerminkan risiko besar jika terjadi gangguan geopolitik atau perdagangan antara kedua negara.
Sementara itu, tujuan ekspor utama Indonesia tetap didominasi Jepang, dengan pangsa yang meningkat dari 40% pada 2004 menjadi 45% pada 2023. Namun, Vietnam kini menjadi tujuan ekspor kedua terbesar, naik dari peringkat 10 (3%) pada 2004 menjadi 17% pada 2023.
Dr. Ariyo menekankan pentingnya diversifikasi baik sumber impor maupun tujuan ekspor untuk mengurangi risiko ekonomi. "Kita perlu mendorong substitusi impor dengan produk lokal dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global," ujar Ariyo.
Dr. Handi Risza Idris membahas pentingnya investasi sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, investasi tidak hanya meningkatkan permintaan agregat tetapi juga kapasitas produksi nasional. Sayangnya, kontribusi investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia terus menurun sejak 2015.
"Pada 2015, investasi menyumbang 32,81% terhadap PDB, namun pada 2023 angkanya hanya 29,33%. Hal ini juga selaras dengan menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi, yang saat ini berada di kisaran 18–19%," jelas Handi.
Ia menegaskan bahwa jika Indonesia ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, maka perlu menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) menjadi 3–4. Untuk itu, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp13.528 triliun dalam lima tahun ke depan, dengan 30% di antaranya berasal dari investasi baru.
Baca Juga: Soal Konflik Sumber Daya Alam dan Tantangan Investasi, INDEF Bahas Solusi dalam Diskusi Panel
Menurut Dr. Ariyo, target pertumbuhan ekonomi 8% di era Presiden Prabowo tampak sulit dicapai tanpa harmonisasi kebijakan industri hulu dan hilir, serta integrasi investasi domestik dan global. Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan nilai tambah domestik (domestic value chain) dan memperbaiki peringkat Indonesia dalam rantai nilai global.
Dr. Handi menambahkan bahwa perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), transparansi, dan reformasi birokrasi menjadi langkah penting untuk menarik investasi. Selain itu, adopsi teknologi, inovasi, dan riset perlu ditingkatkan untuk mendorong produktivitas total.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement