Fakta di lapangan, PDIP cukup sulit berkoalisi dengan PKS dan Partai Demokrat di Pilkada Serentak 2020. Ini karena adanya gap dan ketidaksamaan ideologi partai.
Demikian disampaikan Plt Ketua DPD PDIP Sumatera Utara (Sumut) Djarot Saiful Hidayat di acara webinar bertajuk Proses Kandidasi di Pilkada 2020: Ruang Gelap yang Penuh Misteri digelar UGM.
Baca Juga: Elektabilitas Naik, PDIP: Yang Besarkan PSI Ya Anies Baswedan!
Djarot angkat bicara soal ketidakcocokkan PDIP dengan PKS dan Demokrat dalam berkoalisi di pilkada. Ketidakbisaan PDIP akur dalam satu perahu koalisi bersama PKS dan Demokrat karena ada gap atau ketidaksamaan ideologi.
"Fakta di lapangan memang sulit untuk kita bisa bekerja sama. Kita bekerja sama di lapangan, bukan di atas kertas. Di atas komitmen tanda tangan. Ini memang sulit," ujar Djarot.
Menurut dia, ketidakbisaan PDIP bekerja sama dengan PKS dan Demokrat ini jangan dinilai sinis. Karena sisi positifnya, demokrasi Indonesia jadi sehat. Mantan Wagub DKI Jakarta ini pun menegaskan, meski tidak bisa akur dalam satu perahu koalisi, tapi hal itu tidak berlaku umum. Maksudnya, di daerah-daerah tertentu PDIP juga sanggup berkoalisi dengan PKS dan Demokrat.
"Lalu, pertanyaannya apa semua seperti itu? Tergantung dari masing-masing daerah. Kadang-kadang di beberapa daerah tertentu memang kader PDIP itu berhubungan sangat baik dan bisa bekerja sama dengan PKS dan Demokrat. Dari gap mereka bisa atasi. Ini atas nama saya, saya tegaskan seperti itu," ujarnya.
Politikus PKS Muhammad Nasir Djamil mengingatkan kekuasaan itu tidak permanen. Jangan ada pemikiran pragmatis terkait koalisi pilkada.
"Kenapa kok ada pikiran seperti itu? Inilah problem kepartaian kita. Mau kasih ingat saja, kekuasaan itu bergilir, jangan sombong. Kehidupan ini kayak roda pedati, kadang di atas kadang di bawah," ujarnya.
Nasir bertanya-tanya apa persoalan PKS dan Demokrat terhadap PDIP sehingga ruang koalisi dalam pilkada jadi tertutup. "Menurut saya, kita harus mencontohkan kepada publik bahwa kita bisa bekerja sama dengan siapa pun, meski kita punya garis berbeda. Yang harus kita bangun kepada publik kan begitu. Parpol itu tidak boleh mengajarkan kepada publik soal permusuhan, jangan dianggap musuh," ucap politisi PKS asal Aceh ini.
Sebelumnya, Djarot mengatakan PDIP tidak ingin berkoalisi dengan partai di luar pemerintahan. Dua di antaranya, PKS dan Demokrat. Ketua DPC Demokrat Kota Gunungsitoli, Herman Jaya Harefa mengatakan, ucapan Djarot sangat menghina Demokrat.
"Penolakan koalisi itu adalah penghinaan kepada kader dan Partai Demokrat," ujar Herman.
Herman mengatakan keputusan Demokrat berada di luar pemerintahan adalah keputusan berdemokrasi. Adalah salah bila Djarot menafsirkan sebagai "balas dendam" politis.
"Alasan Djarot bahwa Demokrat tidak berada dalam koalisi pemerintahan, harusnya dapat dipahami sebagai pilihan politik dalam berdemokrasi, bukan balas dendam politik," ujarnya.
Wakil Ketua DPRD Kota Gunungsitoli itu mengatakan semua partai berideologi Pancasila. Tidak boleh ada partai merasa lebih Pancasilais dari partai lain. "Semua partai politik memiliki hak dan kewajiban sama dalam membangun bangsa," ujarnya.
Herman menilai ucapan Djarot itu harus disikapi secara tegas oleh DPP. Salah satunya memutuskan tidak berkoalisi dengan PDIP di Pilkada Kota Gunungsitoli. Lagipula, tambahnya, berkoalisi dengan PDIP di Pilkada Kota Gunungsitoli tidak akan menguntungkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2024. Termasuk, bagi kader yang tengah membesarkan Demokrat di kota itu.
"Atas nama seluruh kader Demokrat, khususnya di Kota Gunungsitoli, meminta Pak AHY tidak merekomondasi kader PDIP. Kader Demokrat memiliki harga diri sehingga calon diusung diharapkan dari kader internal partai," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo