'Nenek moyang yang sama'
Studi itu menunjukkan perlunya pengawasan lebih lanjut terhadap penyakit yang muncul pada manusia dan perlunya melakukan lebih banyak pengambilan sampel dalam populasi kelelawar liar, jika kita ingin mencegah pandemi di masa depan, katanya.
"Jika virus ini telah ada selama beberapa dekade, berarti virus itu memiliki banyak kesempatan untuk menemukan spesies inang baru," kata Prof Robertson.
Para peneliti membandingkan susunan genetik Sars-CoV-2 dengan kerabat dekat pada kelelawar, virus yang dikenal sebagai RaTG13.
Mereka menemukan keduanya berbagi nenek moyang yang sama, tetapi menempuh jalur evolusi berbeda beberapa dekade lalu.
Prof Mark Pagel dari University of Reading, yang bukan bagian dari studi tersebut, mengatakan penelitian itu menunjukkan bahwa virus corona yang mampu menginfeksi manusia telah ada pada kelelawar selama sekitar 40 hingga 70 tahun tetapi tidak terdeteksi.
"Hal ini penting untuk menunjukkan skala dan masalah yang ditimbulkan oleh penularan zoonosis kepada manusia - mungkin ada banyak virus yang belum terdeteksi dan mampu menginfeksi manusia, yang tinggal di inang hewan."
Virus-virus itu mungkin terus menginfeksi satwa liar lain, khususnya yang bersentuhan erat satu sama lain melalui perdagangan ilegal satwa liar.
Penelitian sebelumnya menunjukkan trenggiling mungkin memainkan peran dalam evolusi Sars-CoV-2, tetapi penelitian terbaru menunjukkan hal ini tidak terjadi.
Sebaliknya, trenggiling mungkin mendapat virus itu melalui kontak dengan hewan liar lainnya melalui perdagangan satwa liar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: