Studi Terbaru Ungkap Stok Ikan Menipis di LCS Akibat Pendudukan China
Ketegangan di kawasan sengketa Laut China Selatan terus tinggi seiring meningkatnya kehadiran China di wilayah tersebut dan adanya kekhawatiran jumlah stok ikan.
Sebuah laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan bahwa persediaan stok ikan di wilayah Laut China Selatan semakin menipis hingga 95 persen sejak tahun 1950-an, sebagaimana dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Express.
Baca Juga: Gak Cuma Perkasa di LCS, China Juga Makin Bercokol di Wilayah...
Dalam dua dekade terakhir, CSIS juga memperkirakan jumlah tangkapan turun hingga 75 persen.
China telah banyak berinvestasi dalam industri perikanan dengan menggelontorkan dana subsidi miliaran dolar AS untuk subsidi meningkatkan kapal penangkap ikannya di wilayah tersebut.
Pada tahun 2018, CSIS menemukan bahwa Pemerintah China memberikan dana subsidi 7,2 miliar dolar AS (setara Rp106 triliun) kepada nelayannya untuk memastikan mereka dapat melakukan perjalanan lebih jauh dan menangkap ikan lebih lama di Laut China Selatan.
Meningkatnya persaingan di perairan yang kaya sumber daya alam itu mendorong nelayan lokal dari negara tetangga semakin jauh ke darat dan menyebabkan harga ikan makin mahal.
Tabitha Mallory selaku CEO China Ocean Institute, sebuah firma riset kebijakan perikanan, menegaskan Beijing memiliki keuntungan besar dibandingkan negara-negara tetangga seperti Filipina, karena dapat menghindari peraturan penangkapan ikan tertentu.
Mallory mengklaim China dapat mengubah bendera hingga 1.000 kapalnya saat memancing di wilayah tersebut.
“Salah satu hal yang dilakukan China adalah menghindari beberapa batasan yang dimiliki negara tuan rumah terhadap armada penangkap ikan asing dengan menandai kembali kapal mereka," kata Mallory.
“Ada laporan baru-baru ini, yang memperkirakan sebanyak 1000 kapal penangkap ikan yang beroperasi dengan cara ini sebenarnya milik China," kata dia menambahkan.
China berkeras dapat menangkap ikan di tempat yang diinginkannya dan mengklaim wilayah luas Laut China Selatan hingga pantai Filipina, Malaysia, dan Taiwan.
Menurut Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982, negara-negara mengontrol sumber daya laut dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Daerah di luarnya kemudian dianggap perairan internasional.
Di bawah hukum internasional, sebagian besar Laut China Selatan berada di bawah kekuasaan Vietnam, tetapi China berpendapat mereka memiliki kedaulatan historis atas sebagian besar jalur air atau disebut juga sembilan garis putus-putus.
Beijing mengklaim wilayah laut berbentuk U, yang mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly.
Wilayah tersebut juga tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif yang dikuasai Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: