Dikatakan, siapapun capres yang meroket pada 2021 tidak menjadi penentu utama kemenangan di Pilpres 2024. Patokannya, aturan main mengusung capres alias presidential threshold (Preshold) yang saat ini dibahas di DPR melalui RUU Pemilu.
Nah, jika Preshold tetap di angka 20 persen, parpol akan dipaksa berkoalisi. “Maka, isu bursa koalisi capres baru akan matang pada akhir 2022 atau awal 2023,” sebutnya.
Dijelaskan, pada 2021 PKS masih fokus terhadap optimalisasi peran oposisi secara konstruktif di parlemen. Sedangkan para fungsionaris dan pejabat publik dari PKS tetap berkonsentrasi membantu rakyat. “PKS juga akan merekrut tokoh-tokoh terbaik bangsa dari segala lapisan di pusat dan daerah,” pungkasnya.
Baca Juga: Dear Bu Risma, Ketimbang Blusukan Mending Perbaiki 3 Persoalan Ini
Seperti diketahui, elektabilitas PKS belakangan ini moncer di sejumah hasil survei terbaru. Salah satu pemicunya adalah konsistensi PKS sebagai partai oposisi tunggal. Misalnya, di survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). PKS berada di posisi empat besar dengan raihan elektabilitas sebesar 5,2 persen.
Namun, di Survei SMRC itu tidak muncul nama capres dari PKS. Memang, ada nama mantan Presiden PKS, Sohibul Iman. Namun, Sohibul hanya masuk di bawah 20 besar figur, dan skornya 0,0 persen. Sementara Presiden PKS, Ahmad Syaikhu tidak muncul di daftar survei.
Secara terpisah, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menganalisa, semua parpol termasuk PKS harus memiliki tokoh yang kuat untuk dijagokan di Pilpres 2024. Tanpa hal itu, akan kalah dengan partai pengusung capres.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti