Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengerek Pajak Orang-Orang Superkaya

Mengerek Pajak Orang-Orang Superkaya Suasana sejumlah gedung bertingkat saat senja di Jakarta, Jumat (24/5/2019). Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono menyatakan kondisi dan situasi Ibu Kota pada 24 Mei 2019 sudah kondusif pasca kericuhan yang terjadi pada 21-22 Mei yang lalu. | Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa pemerintah akan mengubah struktur tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) menjadi lima lapisan. Dengan adanya perubahan ini, wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenai pajak 35 persen per tahunnya.

Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, reformasi dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan sehat. Sehat, artinya efektif sebagai instrumen kebijakan, optimal sebagai sumber pendapatan, serta adaptif dengan perubahan struktur dan dinamika perekonomian.

Sementara adil, kata Ani, sapaan karibnya, artinya memberikan kepastian perlakuan pemajakan, mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak, dan menciptakan keseimbangan beban pajak antarkelompok pendapatan dan antarsekor.

"Reformasi perpajakan meliputi dua aspek perbaikan yaitu, aspek administratif dan aspek kebijakan," tutur dia saat rapat bersama Komisi XI DPR, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Pengamat: Kenaikan Pajak Orang Kaya Harus Dilakukan Agar Ada Keadilan dalam Bayar Pajak

Rencana kenaikan tarif pajak ini bukan tanpa sebab. Pasalnya, rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia tahun lalu mengalami kemerosotan hingga di bawah 9 persen. Masih di tahun 2020, realisasi penerimaan pajak hanya tercatat Rp1.069,98 triliun, meleset dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,82 triliun.

Jika dibandingkan dengan tahun 2019, penerimaan pajak 2020 mengalami kontraksi sebesar 19,71 persen, dampak dari pagebluk Covid-19. Karenanya, reformasi perpajakan ini sejalan dengan arah kebijakan fiskal pada 2022.

Di sisi lain, Indonesia disebut akan memiliki pertumbuhan jumlah individu superkaya yang paling cepat di Asia. Sebuah studi dari Knight Frank memprediksi bahwa di Indonesia terdapat 21.430 high net worth individual atau orang dengan kekayaan lebih dari US$1 juta pada 2020. Jumlah ini akan meningkat menjadi 45.063 orang pada 2025.

Menurut perusahaan konsultan yang berbasis di London itu, orang-orang superkaya ialah mereka yang memiliki kekayaan bersih melebihi US$1 juta atau sekira Rp14,2 miliar.

Pun diindikasikan bahwa kelompok superkaya di Tanah Air tidak begitu terdampak oleh pandemi Covid-19. Buktinya, data simpanan di atas Rp2 miliar di bank yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhannya relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok simpanan nominal yang lain.

LPS mencatat sampai dengan Februari 2021, simpanan masyarakat pada bank dengan nominal Rp2 miliar sebanyak 35,1 kali dari produk domestik bruto (PDB) per kapita nasional 2020. Rasio ini jauh di atas rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas yakni 6,25 kali PDB per kapita.

Pajak Adil

Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan menilai pajak harus mencerminkan prinsip keadilan sehingga kebijakan penerapan penambahan lapisan struktur tarif PPh harus dilakukan.

"Memungut pajak sama rata itu tindakan tidak adil dan diskriminatif terhadap pembayar pajak," ujar Maftuchan saat dihubungi Warta Ekonomi di Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Menurut Maftuchan, tindakan yang adil dalam hal perpajakan adalah dengan memberlakukan tarif yang berbeda bagi wajib pajak. Semakin banyak penghasilan yang diperoleh, semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Demikian sebaliknya, semakin sedikit pendapatan pelaku wajib pajak, semakin kecil pula pajak yang harus dibayarkan.

"Inilah keadilan ekonomi yang berujung pada cita-cita keadilan sosial," tegas Maftuchan.

Kesenjangan tarif pajak juga terlihat pada rentang perbedaan tarif antarpelaku wajib pajak atau sumber pajak yang ada (tax bracket). Berdasarkan aturan PPh orang pribadi seperti tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, ada empat lapisan nilai penghasilan kena pajak (PKP) yang diterapkan di Indonesia.

Pertama, penghasilan kena pajak hingga Rp50 juta dalam satu tahun, besar tarif pajaknya 5 persen. Kedua, penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta, besar tarif pajaknya 15 persen. Ketiga, penghasilan kena pajak di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenai tarif PPh sebesar 25 persen, dan keempat, penghasilan di atas Rp500 juta, besar tarif pajaknya 30 persen.

Penerapan tarif pajak tersebut dinilai Maftuchan tidak relevan dengan situasi saat ini dan tidak mencerminkan keberpihakan pada masyarakat golongan menengah ke bawah.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, pemerintah bisa meningkatkan penerimaan pajak terutama kepada kelompok masyarakat kaya dengan menambah lapisan pajak penghasilan dari empat menjadi lima.

"Lapisan kelima diperuntukkan kepada masyarakat kaya sehingga hanya memengaruhi sedikit orang kaya saja," tegasnya.

RI Tidak Sendiri

Kenaikan tarif pajak juga bakal dialami orang-orang kaya di Amerika Serikat (AS). Belum lama ini Presiden AS Joe Biden mengusulkan untuk melipatgandakan pajak keluarga kaya AS hingga 43,3 persen. Tarif ini disebut tarif tertinggi dalam hampir satu abad.

Berdasarkan proposal yang diajukan Biden, rata-rata kenaikan pajak akan sebesar 39,6 persen bagi mereka yang berpenghasilan US$1 juta atau Rp14,5 miliar (kurs Rp14.500 per dolar) dan berlaku mulai tahun pajak 2022.

Menurut sumber yang dikutip dari Reuters di Jakarta, Jumat (4/6/2021), kenaikan ini untuk mendanai program-program yang tertuang dalam American Families Plan senilai US$1,8 triliun sehingga tidak akan membebani defisit anggaran.

Bahkan International Monetary Fund (IMF) sebelumnya telah mendorong adanya kebijakan untuk memungut pajak yang lebih besar kepada orang kaya melalui skema pajak penghasilan atau pajak kekayaan.

"Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan pengenaan pajak atas penghasilan atau kekayaan secara sementara sebagai kontribusi terhadap pemulihan dari Covid-19," tulis IMF pada laporan Fiscal Monitor edisi April 2021, dilansir dari DDTC News.

Jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya, seperti Filipina, tarif pajak yang diwacanakan pemerintah relatif lebih murah. Berikut lapisan PPh di Filipina, dikutip dari Bureu of Internal Revenue, Republic of The Philippines.

Berdasarkan kurs tengah transaksi BI, Rp5 miliar setara dengan PHP16,75 juta. Artinya, akan dikenai tarif PPh tertinggi.

Sementara dengan Thailand, tarifnya sama seperti yang diusulkan Pemerintah Indonesia. Berikut ini PPh di Thailand seperti dikutip dari Kementerian Penerimaan Thailand.

Mengutip kurs tengah transaksi BI, THB1 setara dengan Rp458,28. Maka, Rp5 miliar setara dengan THB10,91 juta sehingga dikenai tariff PPh 35%.

Usulan Tarif Pajak

Piter menyarankan lapisan kelima diberlakukan kepada masyarakat yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar dengan tarif pajak sebesar 35 persen sesuai dengan kebijakan yang akan diterapkan pemerintah.

Di sisi lain, Maftuchan merekomendasikan beberapa perubahan tarif PPh OP dengan beberapa lapisan nilai PKP, yaitu

1. Sampai dengan Rp100 juta, tarif pajak sebesar 5 persen;

2. Di atas Rp100 juta hingga Rp500 juta, tarif pajak sebesar 10 persen;

3. Di atas Rp500 juta hingga Rp1 miliar, tarif pajak sebesar 15 persen;

4. Di atas Rp1 miliar hingga Rp2 miliar, tarif pajak sebesar 20 persen;

5. Di atas Rp2 miliar hingga Rp5 miliar, tarif pajak sebesar 25 persen;

6. Di atas Rp5 miliar hingga Rp50 miliar, tarif pajak sebesar 35 persen; dan

7. Di atas Rp50 miliar, tarif pajak sebesar 40 persen.

Dengan begitu, pemberlakuan tarif pajak akan mencerminkan keadilan karena disesuaikan dengan jumlah pendapatan pelaku wajib pajak.

Kemudian, Piter juga mengimbau agar pemerintah tidak hanya meningkatkan tarif PPh, tetapi mencari cara untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.

"Saya kira hal ini sangat potensial untuk mendorong peningkatan penerimaan pajak," jelas Piter.

Riset Cambridge bahkan menyebut bahwa meningkatkan pajak untuk orang superkaya dapat membantu pemerintah meningkatkan penerimaan pajak. Lalu, pemerintah bisa mendistribusikan kembali kekayaan dalam bentuk insentif atau bantuan sosial dan mengurangi ketimpangan pendapatan di masyarakat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: