Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Proyek Food Estate Harus Perhatikan Aspek Lingkungan

Proyek Food Estate Harus Perhatikan Aspek Lingkungan Rumah pangan kita | Kredit Foto: Cahyo Prayogo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pegiat lingkungan dari EcoNusa dan Pantau Gambut menilai respon pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan saat pandemi melalui program lumbung pangan atau food estate belum tepat karena program tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak serius pada lingkungan secara jangka panjang.

Keduanya pun mendukung Ombudsman untuk melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap perencanaan dan pelaksanaan program food estate. Data Kementerian Pertanian mencatat ketersediaan pangan masih masih aman, bahkan surplus 7,39 juta ton hingga akhir tahun 2020.

Baca Juga: Triwulan I 2021, Menteri Keuangan: Pertumbuhan Ekonomi Nasional Menunjukan Tren Positif

Pada akhir Juni 2021, surplus beras sebanyak 10,28 juta ton. Di akhir Desember 2021, perkiraan suplus beras adalah sebanyak 9,62 juta ton.

Merefleksikan data tersebut, Koordinator Nasional Pantau Gambut Lola Abas menegaskan bahwa tidak ada urgensi untuk program cetak sawah baru melalui food estate untuk merespon dampak pandemi.

“Permasalahan akibat pandemi adalah berkurangnya akses pada pangan, sehingga rantai suplai menjadi terganggu dari sisi produsen, pemasukan, transportasi, pabrik pengolahan, pengiriman dan lainnya. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian, bukan pada persoalan penambahan produksi,” tuturnya pada Kamis (22/7/2020).

Lola juga mengkhawatirkan adanya Permen LHK No.24 tahun 2020 yang muncul setelah kegiatan food estate di Kalimantan Tengan dan Sumatera Utara berjalan yang justru dapat mengancam lingkungan. Pada Pasal 19 Permen tersebut tertulis bahwa kawasan hutan lindung boleh dibuka untuk dijadikan kawasan food estate.

“Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999, Pasal 16 yang menyatakan pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Artinya penggunaan kawasan tidak boleh mengurangi fungsi utama kawasan itu sendiri,” tegas Iola.

Rencana pemerintah untuk membuka cetak sawah di lahan eks-PLG untuk pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah, sangat perlu di kaji ulang.

“Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha) dan tentunya akan menimbulkan permasalahan baru,” ungkapnya

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Alfi Dinilhaq

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: