Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengatakan bahwa tahun 2045 disebut sebagai momen Indonesia Emas karena genap 100 tahun kemerdekaan sebagai visi bangsa yang besar. Dia mengaku, sejak 2013 saat menjadi perwira aktif, dirinya aktif mengampanyekan visi Indonesia 2045 dari kalangan internal TNI, kampus, hingga organisasi kepemudaan.
"Bagi saya untuk mewujudkan itu ada 3 kondisi utama yang harus dicapai. Pertama, Indonesia harus benar-benar aman dan damai. Kedua, Indonesia harus benar-benar adil dan sejahtera. Ketiga, Indonesia harus benar-benar maju dan mendunia. Penekanan ada pada benar-benar dibaca dalam satu tarikan napas. Kenapa angka 2045?" ujarnya dalam Pidato Kebangsaan Ketua Umum Partai Politik, Memperingati 50 Tahun CSIS Indonesia, Senin (23/8/2021).
Baca Juga: Kritik Demokrat Sering Disalahartikan, AHY: Menyakitkan! Dianggap Tidak Merah Putih
AHY menyebut sejak tahun 2008, saat Indonesia pertama kali masuk dalam negara G-20, banyak analisis dari institusi internasional yang memproyeksikan Indonesia akan berada pada 10 hingga 5 besar sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia dengan parameter tingkat kesejahteraan rakyat yang jauh lebih membaik.
Meskipun pada tahun tersebut diprediksikan Indonesia akan berada di puncak keemasan, AHY mengingatkan agar tidak terlena dengan prediksi panjang. Sebab, kedatangan pandemi Covid-19 dua tahun lalu juga di luar prediksi.
"Oleh karena itu, sebaiknya kita jangan terbuai dengan angka-angka tersebut. Dari tinjauan yang lain, setahu saya tidak ada standar di dunia atau sebuah negara bisa atau harus mencapai masa keemasannya," paparnya.
Dia mencontohkan, negara Amerika Serikat yang merdeka pada 1776, sejak berakhir perang dingin negara tersebut yang kemudian secara de facto menjadi negara super power, baik secara politik, ekonomi, teknologi, militer dan peradabannya.
Berdasarkan pembacaan AHY, sejarah usia 100 tahun Amerika Serikat masih jauh dari bayangan negara yang hebat seperti saat ini. Pada tahun 1876, Amerika Serikat masih berada pada masa rekonstruksi bangsa setelah 4 tahun lamanya terjadi perang saudara. "Yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah terbesar di sepanjang sejarah mereka yang telah menghancurkan mereka," ujarnya.
Selain Amerika Serikat yang meleset lebih dari 100 tahun, AHY mencontohkan negara Korea Selatan yang sempat mengalami kehancuran yang disebabkan oleh perang saudara yang kemudian menjadi Korea Utara pada tahun 1950-1953. Namun, lebih cepat dari prediksi, Korea Selatan dalam 50 tahun kemudian menjadi negara maju berperadaban tinggi, baik secara ekonomi, teknologi, militer, prestasi olahraga, hingga kekhasan tradisi budaya.
Agar aman dari ancaman, Korea Selatan juga memperkuat hard power dengan kebijakan wajib militer dengan memberikan nilai patriotisme, disiplin, etos kerja, taktik dan teknik berperang kepada warga negaranya.
"Korsel berhasil keluar dari krisis dilema klasik antara membangun militer dan ekonomi, walaupun politik dalam negaeri Korsel dinamis, tapi ada kesamaan dan kesatuan visi lintas generasi, yaitu menjadi bangsa yang unggul di dunia," paparnya.
Korea Selatan, bagi AHY, menyadari pertahanan militer tidak akan mengantarkan Korea Selatan menjadi negara yang lebih maju. Karena itu, investasi lainnya dilakukan terkait pengembangan sumber daya manusia dengan memprioritaskan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Disusul selanjutnya, fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga produksi barang dan jasa yang berkelas dunia.
Dalam rangka memperluas pengaruh Korea Selatan sebagai bangsa, mereka mengekspor produk keunikan tradisi dan budayanya. Rasanya, kita tidak asing dengan berbagai produk dari HP, AC, kulkas, kendaraan, hingga masakannya. Bahkan saat ini, generasi milenial di Indonesia hampir pasti menjadi fans BlackPink, BTS, dan grup K-Pop lainnya tanpa lebih mendalam mengenali Presiden Korea Selatan.
"Dengan demikian, Korsel tidak hanya maju dari aspek hard power, tapi juga menjadi salah satu pemenang global dalam aspek soft power," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: