Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Finplan ID: Mengenal Lebih Dekat Instrumen Investasi Saham

KOL Stories x Finplan ID: Mengenal Lebih Dekat Instrumen Investasi Saham Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
Warta Ekonomi, Jakarta -

Saat ini banyak sekali alternatif bagi yang ingin memulai investasi keuangan. Salah satunya adalah investasi saham di pasar modal. Namun, untuk memulai investasi dan menerima hasil investasi saham tidaklah bisa diperoleh dengan cara instan.

Seperti yang dialami oleh Oracle of Omaha alias Warren Buffett yang merupakan salah satu investor legendaris dan miliarder paling dikagumi di dunia. Pengalamannya di dunia investasi telah menginspirasi banyak investor besar.

Baca Juga: KOL Stories x Rita Efendy: Menatap Masa Depan Saham Teknologi dan Digital

Pendekatan Warren Buffett, yang dikenal sebagai investasi nilai, adalah kebalikan dari investasi cepat kaya yang spekulatif seperti mata uang kripto. Adapun strategi yang diambil Warren Buffett harus fokus pada fundamental perusahaan saat memutuskan di mana harus mengalokasikan uangnya.

Nah, buat calon investor milenial dan gen Z sebaiknya mengenali terlebih dahulu instrumen investasi saham. Karena, sebelum mulai terjun berinvestasi di saham baik milenial dan Gen Z cenderung hanya ikut-ikutan.

Untuk itu, Warta Ekonomi melalui KOL Stories hadir dengan tema "Mengenal Lebih Dekat Instrumen Investasi Saham Biar Gak Kaya Beli Kucing Dalam Karung". Kali ini KOL Stories akan berbincang dengan Cofounder Finpland.id, Alif Fattah Adzani, terkait hal tersebut.

Boleh dijelaskan terlebih dahulu tidak, apa sih sebenernya saham itu? Apa yang membedakannya dengan jenis investasi lain?

Dalam investasi, setiap orang memiliki keberanian yang berbeda-beda. Ada yang nekat, dan ada juga yang hanya cari aman. Ini dinamakan profil risiko. Instrumen investasi saat ini punya banyak pilihan. Untuk orang yang ingin cari aman atau dengan profil risiko tipe konservatif, kalian mungkin bisa mempertimbangkan untuk memilih deposito, SBR, obligasi, atau reksadana. Untuk saham sendiri, risikonya cenderung tinggi. Makanya, lebih cocok bagi orang yang berani ambil risiko alias tipe agresif. Jika orang yang ingin cari aman, tetapi memaksakan kehendak untuk berinvestasi di saham, kemungkinan besar orang itu pasti tidak akan siap jika harga sahamnya anjlok.

Gampangnya, saham itu ibaratnya kita memiliki bisnis, tetapi bukan kita yang kelola. Saham menjadi bukti kepemilikan kita dari bisnis tersebut. Jadi, kita mempunyai bisnis, tetapi pengelola bisnis tersebut bukan kita, melainkan diserahkan ke pihak manajemen.

Saham berbeda dengan instrumen investasi lain seperti reksadana. Kalau reksadana itu bisa digambarkan seperti tukang gado-gado. Mengapa demikian? Misalkan kita sedang lapar dan ingin makan gado-gado. Jika kita membuat sendiri menggunakan berbagai bahan seperti kentang, sayur-sayuran, dan juga bumbu pecelnya pasti tidak akan praktis. Dengan kita pergi ke tukang gado-gado, kita bisa mendapatkan satu piring berisi kentang, sayuran, dan tahu. Itulah reksadana. Sayuran yang terdapat pada gado-gado diibaratkan sebagai beraneka macam saham yang ada di bursa efek. Adanya reksadana ini kita serahkan saham-saham tersebut ke manajer investasi. Manajer investasi ini seperti tukang gado-gado tadi. Kita menitipkan uang kepada mereka untuk mengelola portofilio milik kita.

Ketika berinvestasi di saham, apa keuntungan atau kelebihannya?

Saham bisa mengalami auto reject atas (ARA) selama berhari-hari, alias nilainya naik terus setiap harinya. Itu menjadi salah satu keuntungan dari saham.

Apakah berinvestasi di saham cocok untuk generasi milenial dan Gen Z?

Kalau soal cocok atau tidak cocoknya kembali lagi ke profil risikonya. Namun, kalau memungkinkan atau tidak kita investasi saham, maka sangat mungkin jika kita sudah punya KTP, karena itulah yang menjadi syarat pertamanya. Lucunya, banyak DM Instagram yang saya terima dari anak SMP. Mereka sering menanyakan apakah mereka sudah dapat membuka rekening saham atau belum. Antusiasme itu kalau menurut saya bagus sekali.

Namun kalau kita melihat data, anak muda biasanya belum punya tanggungan, jadi hanya menanggung beban diri dia sendiri sehingga profil risikonya cenderung ke tipe agresif atau lebih nekat. Jadi mereka mengambil saham atau crypto sebagai salah satu instrumen investasi mereka. Namun, tetap saya anjurkan sebelum kita masuk ke saham, cek dahulu profil risiko kalian terlebih dahulu.

Ketika berinvestasi pasti ada risiko yang harus ditanggung. Seperti apa risiko yang akan terjadi ketika kita berinvestasi di saham?

Jadi saham itu risikonya sangat tinggi. Bisa jadi hari ini harga saham jeblok 25 persen, atau disebut auto reject bawah (ARB). Itu yang menjadi risiko dari saham. Kita punya cara untuk mengurangi risiko tersebut seperti membaca terlebih dahulu laporan keuangannya, benar atau tidak. Atau kita bisa membaca berita, setidaknya ketahui dahulu apa yang ingin kita beli.

Selain itu, ada capital loss. Misalnya kita beli saham di harga 1.000, kemudian tiba-tiba jatuh menjadi 500. Jadi nilai saham yang kita beli berkurang setengahnya. Kita bisa menanganinya dengan cara secara disiplin menetapkan stop loss dengan toleransi kerugian sebesar 10 persen. Ketika saham sudah rugi 10 persen langsung dijual sampai benar-benar aman, baru masuk kembali.

Kemudian ada suspense atau saham yang dihentikan perdagangannya karena punya unusual market activities. Jadi transaksi saham tersebut aneh, dalam seminggu naik terus atau turun terus, sehingga akan masuk ke dalam evaluasi bursa saham. Terakhir ada likuidasi, yaitu ketika saham yang kita beli manajemennya buruk dan perusahaannya merugi, kemudian di pengadilan lalu bangkrut, maka bursa akan menarik saham tersebut dan tidak akan diperdagangkan lagi.

Saat ini fenomena FOMO merebak di kalangan investor pemula, bagaimana cara menghindarinya?

Harus dipahami tujuan dan kenali profil risiko. Setiap orang memiliki tujuan keuangan yang berbeda-beda, ada yang butuh untuk nikah setahun lagi atau sedang mempersiapkan pensiun 30 tahun lagi. Tentunya kondisi keuangan orang itu berbeda-beda ya, sadari ada di posisi mana. Lalu kenali profil risiko, jangan memaksakan untuk memiliki instrument investasi yang tidak cocok karena lebih besar pengaruhnya apabila terjadi hal yang tidak diinginkan.

Lalu, bagaimana cara mengenal saham yang bagus supaya tidak seperti membeli kucing dalam karung? 

Setiap emiten saham itu memiliki kewajiban untuk melakukan paparan dan penjelasan mengenai kinerjanya kepada para pemegang saham. Manajemen merilis laporan keuangan setiap kuartal sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada para pemilik bahkan ada kegiatan public expose dimana setiap pemegang saham bisa bertanya langsung pada manajemen.

Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, baca lah laporan keuangannya, ikuti public exposenya, jadi kita tahu bagaimana perusahaan ini dijalankan. Apakah dijalankan dengan GCG yang baik, apakah kinerja keuangannya baik, apakah ada potensi bisnis besar kedepannya? Pahami semuanya sebelum membeli yaa.

Sebagai penutup adakah yang ingin ddisampaikan?

Sebelum berinvestasi, pelajari apa yang akan kamu lakukan. Jangan melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa yang kamu kerjakan. Saat ini informasi untuk belajar tersebar banyak baik di media social seperti youtube, IG, bahkan tinggal googling aja keluar semua ilmunya. Salah satunya dengan follow Warta Ekonomi dan tentunya Finplan Id. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: