Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan Implementasi Peningkatan Akes dan Ketersediaan Obat di Masa Pandemi

Tantangan Implementasi Peningkatan Akes dan Ketersediaan Obat di Masa Pandemi Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga kepada warga saat vaksinasi booster COVID-19 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kebut program vaksinasi booster atau dosis ketiga di wilayah Jabodetabek setelah mendeteksi adanya lonjakan kasus Omicron di Indonesia. | Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia telah diakui sebagai salah satu negara dengan cakupan vaksinasi yang memuaskan. Dengan jumlah cakupan vaksinasi COVID -19 yang mencapai 166,65 Juta orang sebanyak 281.574.183 dosis, negara ini telah menempati urutan ke-4 usai China, India, dan Amerika Serikat. 

Demikian diungkapkan Banarsono Trimandojo, Lead of JKN Drug Enlistment Task Force, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), dalam tulisannya berjudul Peraturan Presiden No 12 Tahun 2021 – Mengatasi Tantangan Implementasi Guna Peningkatan Akses dan Ketersediaan Obat – Obatan.

Menurutnya, target WHO tentunya berhasil terlampaui berkat kolaborasi pentahelix lintas pemangku kepentingan dan kerjasama multilateral dengan beragam perusahaan farmasi. 

“Pada saat kita hampir menuju akhir krisis kesehatan, kasus – kasus omicron telah dilaporkan hadir di Indonesia dan sejumlah negara tetangga. Distribusi vaksin COVID -19, peningkatan akses, dan ketersediaan obat – obatan penting, baik untuk program JKN dan program kesehatan nasional lainnya merupakan faktor – faktor krusial bagi Indonesia guna menciptakan sistem kesehatan yang kokoh di masa depan,” tulis Banarsono. 

Menurut Banarsono, selama krisis kesehatan dua tahun ke belakang, Pemerintah Indonesia telah secara seksama menyesuaikan cara kerja dan mengkaji sejumlah kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang pada berbagai sektor, tak terkecuali sektor kesehatan.

Langkah ini ditempuh guna menciptakan sistem dan kualitas layanan kesehatan di masa depan yang adaptif dan konstruktif. Salah satu instrumen regulasi tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 12 Tahun 2021 yang bertujuan mengatur aktivitas pengadaan barang dan jasa.

Di dalamnya terdapat enam prinsip yang menjadi acuan beragam pemangku kepentingan sebagaimana tercantum dalam peraturan presiden pendahulunya - Pasal 6 Perpres 16 / 2018, yakni: efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel dalam proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Sebagai salah satu instrumen kebijakan penting, Perpres No 12 Tahun 2021 merupakan salah satu manifesto misi Pemerintah Indonesia guna memberikan kemudahan berbisnis sebagaimana tercermin dari semangat UU Ciptaker.

Hal ini dapat kita amati dari salah satu perubahan mendasar pada Perpres No. 12 Tahun 2021 yaitu menghapus proses tender dan negosiasi kemudian menggantinya menjadi proses “verifikasi” yang hanya merujuk pada persyaratan teknis oleh Kementerian Kesehatan.

Artinya, hal ini akan mempercepat proses tender yang dilakukan oleh institusi pemerintahan dalam membeli barang dan jasa.

Perubahan penting lainnya dari Perpres No. 12 Tahun 2021 adalah masing – masing satuan kerja pemerintah dalam hal ini fasilitas dan pelayanan kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas) dengan status Badan Layanan Umum, Dinas Kesehatan, hingga institusi di Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam melakukan negosiasi langsung dengan pihak penyedia obat di e-katalog.

Sejumlah perubahan di atas, tentunya akan menciptakan sejumlah implikasi dan pengaruh implementasi di lapangan hingga berdampak bagi akses dan ketersediaan kualitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat secara umum.

Adanya perubahan sistem negosiasi oleh penyedia layanan kesehatan menciptakan sejumlah tantangan dan implikasi, khususnya pada prinsip akuntabilitas dan transparansi selama kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Pertama, saat ini terjadi multitafsir tentang implementasi regulasi, yaitu pemahaman antara “Harga Eceran Tertinggi/HET” dengan “Harga Perkiraan Sendiri/HPS” dalam sistem pengadaan obat di e-katalog digunakan secara bersamaan, sehingga memunculkan pengertian yang berbeda mengenai penetapan harga obat dalam katalog obat. 

“Padahal, obat merupakan komoditas kemanusiaan yang strategis guna peningkatan kualitas kesehatan masyarakat secara umum, artinya tidak dapat disamakan dengan barang dan jasa lainnya, contohnya infrastruktur dan perbankan. Seyogianya, aplikasi kebijakan pengadaan barang dan jasa dapat menyediakan syarat khusus dan pengecualian bagi obat karena dapat berdampak secara langsung bagi kualitas pembangunan manusia bahkan nyawa dari segi pengaturan,” tulis Banarsono. 

Kedua, dalam implementasinya, Perpres No 12 / 2021 memunculkan tantangan dengan kebijakan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam mengelola e-katalog pemerintah.

Dalam kebijakan LKPP, disebutkan bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) akan menciptakan perbedaan harga dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang mana adalah acuan satuan kerja dalam melakukan negosiasi dengan penyedia di e-katalog. 

Dengan demikian, akan tercipta ketidakpastian bagi kedua belah pihak – satuan kerja pelayanan kesehatan dan perusahaan farmasi, yang memengaruhi proses pengadaan obat.

Adanya tantangan selama pengadaan obat oleh para penyedia layanan kesehatan tentunya akan secara tidak langsung berimbas pada rantai pasokan dan ketersediaan obat yang akan dirasakan oleh masyarakat secara umum.

Tidak hanya itu saja, adanya variasi harga hasil negosiasi oleh satuan kerja penyedia fasilitas pelayanan kesehatan berpotensi menciptakan fraud selama proses klaim di BPJS Kesehatan setelahnya.

Terakhir, Peraturan Presiden ini bisa menjadi titik balik krusial bagi ketersediaan obat – obatan di seluruh Indonesia.

Bayangkan jika setiap satuan kerja penyedia layanan kesehatan memiliki otoritas untuk menyediakan obat dengan ketentuan mereka masing – masing.

Tendensi kesenjangan harga dan ketersediaan rantai pasokan, secara langsung akan berdampak pada perawatan pasien, khususnya mereka yang membutuhkan penanganan kritis. Hal ini tentunya akan memperluas jarak kemampuan beli pasien.

Obat - obatan adalah hak dasar kemanusiaan yang harganya tidak tergantikan atau bisa mengorbankan nyawa jika tertunda atau ditolak.

Banarsono juga memberikan sejumlah Rekomendasi Guna Percepatan Ketersediaan Obat dan Peningkatan Layanan Kesehatan di Masa Depan.

Yakni memastikan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi secara baik dan efektif dalam sebuah sistem pengadaan publik – oleh pemerintah, khususnya terkait penyediaan obat – obatan dan alat kesehatan di lapangan adalah hal yang sangat krusial.

Apabila selama proses tersebut mengalami gangguan dan hambatan penerapan, maka hak mendasar masyarakat Indonesia untuk menerima obat – obatan dan perawatan kesehatan sangatlah terganggu hingga mengancam nyawa bagi sebagian pasien yang memerlukan tindakan cepat tanggap.

Selain itu, inefisiensi dan hambatan dalam rantai pasokan obat – obatan oleh penyedia fasilitas kesehatan jelas akan mengganggu Pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan jaminan kesehatan masyarakat.

Pemerintah Indonesia perlu memperkuat aspek transparansi dan klarifikasi dalam penetapan harga atau harga referensi serta kebijakan kategorisasi lainnya, khususnya pada obat – obatan, baik obat untuk COVID-19 maupun non COVID-19, hingga obat-obatan esensial untuk penyakit kronis.

Sebagai mitra strategis pemerintah dalam penguatan infrastruktur kesehatan, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), yang merupakan organisasi beragam perusahaan farmasi multinasional sangatlah siap terlibat dalam proses peningkatan dalam pelaksanaan teknis dari Perpres 12/2021, terutama dalam memberi kepastian tentang ketersediaan obat dalam rantai pasokan.

Selain itu, IPMG juga mengusulkan agar Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran guna menerangkan jenis– jenis obat yang telah memiliki fixed price, termasuk obat program rujuk balik, obat penyakit kronis, dan perawatan kemoterapi yang menentukan kelangsungan nyawa pasien.

Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kerangka kerja regulasi dan pengembangan kebijakan di masa depan, khususnya untuk memastikan ketersediaan dan akses obat – obatan berkualitas hingga keberlangsungan sistem jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kebijakan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, tentunya memengaruhi ketersediaan obat dan praktik pelayanan kesehatan yang senantiasa harus dikawal agar menerapkan enam prinsip pengadaan yang diharapkan, yakni efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.

Terakhir, kondisi pandemi yang senantiasa bergejolak dan dinamis tentunya menuntut Indonesia untuk memiliki sistem pelayanan kesehatan yang kokoh dan adaptif.

Selain itu, implementasi program kesehatan nasional harus didukung melalui sistematika pengadaan obat yang profesional dan tepat guna.

IPMG sebagai mitra strategis pemerintah dalam hal ini siap untuk berkomitmen dalam mendukung tercapainya program nasional dan transformasi sistem kesehatan nasional yang kokoh dan berkualitas di masa depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: