Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah untuk bercermin pada pertumbuhan ekonomi negara tetangga di ASEAN, salah satunya Vietnam.
Hal ini menyambung pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi triwulan III-2022 yang mencetak angka 5,72% year-on-year (yoy).
Achmad menilai pemerintah terlalu membanggakan pertumbuhan ekonomi Tanah Air yang dibandingkan dengan Amerika Serikat (1,8%) dan Cina (3,9%). Padahal, Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Vietnam yang tumbuh di level 13,7%.
Baca Juga: INDEF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV-2022 Melambat
"Vietnam tumbuh tertinggi meski tidak ada proyek pemindahan ibu kota, tidak ada windfall profit dari harga komoditas dan tidak ada presidensi KTT G20. Vietnam tumbuh karena daya beli masyarakatnya pulih lebih cepat dan ekspor ke AS meningkat tajam tumbuh 25,4% yoy," kata Achmad dalam keterangannya, Selasa (8/11/2022).
Peningkatan daya beli masyarakat didorong oleh penurunan PPN dari 10% menjadi 8% pada 2022. Sementara di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. "Beda dengan Indonesia PPN bukannnya turun malah naik dari 10 persen menjadi 11 persen."
Konsumsi masyarakat Indonesia juga tumbuh melambat dari Vietnam karena adanya kenaikan harga BBM. Achmad menyoroti bagaimana pemerintah yang malah menaikkan BBM sebesar 30%, alih-alih menambah subsidi.
Menurut Achmad, kenaikan harga BBM menjadi faktor terbesar ekonomi Indonesia tumbuh tidak optimal. Sebab, sektor transportasi berkontribusi tinggi pada perekonomian. Sementara kenaikan harga BBM justru berkontribusi kepada inflasi yang melemahkan daya beli masyarakat.
Adanya windfall akibat naiknya harga komoditas dunia seperti CPO dan batubara juga menambah nilai dari pertumbuhan tersebut.
Bonus demografi Indonesia yang besar juga sangat berpengaruh kepada tingkat konsumsi masyarakat. "Dengan longgarnya mobilitas ekonomi tentunya wajar jika sektor transportasi dan pergudangan menyusun kontribusi tertinggi," jelas Achmad.
Aspek lain yang menjadi perhatian Achmad adalah daya serap APBN yang dnilai rendah. Sejauh ini, daya serap APBN baru mencapai 61% dan menyisakan dana sebesar Rp1.200 triliun. Padahal, periode 2022 hanya tersisa dua bulan lagi.
"Melihat dari government spending tumbuh negatif -2,88 yoy menunjukkan bahwa belanja pemerintah belum optimal dan terkesan tidak serius dan tidak berkualitas," tandasnya.
Achmad meyakini Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi bila hilirasi pertambangan dikembangkan. "Industri pertambangan seharusnya memberikan kontribusi yang besar, apalagi Indonesia penghasil nikel terbesar di dunia, tapi sektor ini hanya menyusun 3,22% saja."
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terlalu rendah dari potensinya.
"Harus kita bandingkan angka pertumbuhan ekonomi 5,72 persen dengan tingkat inflasi 5,71 persen artinya pertumbuhan ekonomi saat ini belum begitu signifikan, secara riil Indonesia hanya tumbuh 0.01 persen pada triwulan III 2022. Sangat kecil sekali!"
Belum lagi ditambah dengan ancaman resesi ekonomi global yang tak dapat diprediksi. Kemudian, periode 2021-2022 Indonesia mendapatkan windfall dari komoditas CPO dan batubara. Situasi ini memang membuat penerimaan APBN Indonesia surplus, namun Achmad berpendapat kondisi itu tidak akan bertahan di 2023.
"Penurunan harga komoditas akan menjadi ancaman besar bagi APBN Indonesia dimasa resesi yang akan datang," ungkap dia.
Dia mengatakan salah satu opsi yang bisa ditempuh agar ekonomi dapat tumbuh lebih tinggi lagi adalah belanja pemerintah perlu mendukung meningkatkan konsumsi dalam negeri, mengurangi ketergantungan kepada impor, mencari pasar-pasar baru untuk ekspor komoditas.
Selain itu, pemerintah juga dapat memberdayakan para duta besar, khususnya di kawasan Afrika dan lain-lain, untuk menawarkan komoditas-komoditas yang dimiliki Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: