Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peningkatan Produksi Migas untuk Perkuat Ketahanan Energi

Peningkatan Produksi Migas untuk Perkuat Ketahanan Energi Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto | Kredit Foto: Dok. Panpel
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guna mengantisipasi adanya potensi krisis ekonomi dan mendukung keberhasilan dari target pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060, ketahanan energi nasional rasanya harus terus diperkuat. 

Pasalnya krisis ekonomi akibat akibat perang Rusia–Ukraina yang menyebabkan naiknya harga energi dan pangan menunjukkan bahwa ketidakstabilan dan gangguan pasokan menyebabkan tidak terkendalinya harga, sehingga menjadi ancaman bagi negara yang sebagian kebutuhannya masih harus dipenuhi dari impor.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan adanya potensi ancaman krisis di tahun 2023 yang tentu akan berimbas pada ketahanan energi dan ketahanan pangan nasional.

Baca Juga: Pertamina Beber Berbagai Strateginya Demi Capai Transisi Energi

Menurutnya, dampak konflik Rusia–Ukraina yang memicu kenaikan harga minyak dunia secara cepat, setelah sebelumnya harga minyak dunia yang rendah akibat menurunnya aktivitas perekonomian karena pandemi Covid-19.

“Saat ini harga minyak dunia berubah secara cepat dan dengan rentang harga yang sangat tinggi terjadi dalam hitungan bulan," ujar Dwi dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (17/11/2022). 

Dwi mengatakan, fenomena ini berbeda dengan apa yang terjadi dimasa lalu, bahwa perubahan harga minyak dunia dengan rentang harga yang jauh berbeda terjadi dalam hitungan tahun. 

"Volatilitas yang tinggi jika dilepas ke pasar tentu akan menimbulkan kerawanan karena jika harga energi mengikuti harga dunia, maka akan terjadi gejolak dan kerawanan sosial," ujarnya. 

Lanjutnya, Dwi menyampaikan bagaimana Pemerintah menjaga stabilitas harga energi, termasuk didalamnya harga BBM agar tetap dapat terjangkau oleh masyarakat dengan subsidi sehingga harga energi di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. 

Begitupula upaya Pemerintah untuk menjaga kelangsungan dan keberlanjutan industri nasional dengan harga gas bumi US$6 per MMBTU pada industri tertentu yang harganya jauh dibawah harga gas bumi dunia yang lebih tinggi 2-3 kali lipat.

Dengan begitu, maka ketahanan energi dan kemampuan negara memberikan harga yang terjangkau bagi masyarakat,  dipengaruhi oleh kemampuan produksi energi, termasuk didalamnya minyak dan gas. 

"Jika produksi gas melebihi kebutuhan dalam negeri, sehingga sebagian diekspor memperkuat devisa negara. Namun untuk minyak kebutuhan dalam negeri sebagian masih harus dipenuhi dari impor karena produksi dalam negeri masih kurang," ungkapnya. 

Maka dari itu, Dwi menekankan SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) saat ini terus berupaya meningkatkan produksi migas nasional sebagai salah satu kontribusi indusri hulu migas dalam mendukung ketahanan energi nasional. 

Menurutnya, saat ini potensi hulu migas masih menjanjikan, karena dari 128 cekungan yang sudah berproduksi 20 cekungan. Dengan potensi yang ada serta terus meningkatnya kebutuhan migas nasional, maka dalam rencana dan strategi Indonesia Oil & Gas 4.0, ditargetkan di tahun 2030 produksi minyak meningkat menjadi 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD)

“Tekad meningkatkan produksi migas nasional tentu tidak mudah, karena potensi migas mulai bergeser ke laut dalam dan kawasan timur Indonesia yang masih kurang infrastrukturnya, serta mulai bergeraknya perusahaan migas ke arah energi terbarukan (renewable energy) sehingga investasi di hulu migas menjadi semakin ketat," ucapnya. 

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto menyebut bahwa minyak dunia adalah hal yang tidak bisa dikendalikan harga dan volatilitasnya, tidak ada yang bisa menahan dan menentukan harga minyak dunia.  

“Tidak satu negarapun bahkan negara yang tergabung dalam OPEC tidak bisa menentukan dan menetapkan harga. Ditambah ancaman terhadap pasokan energi seperti sabotase, aksi peretasan melalui ransomware dan lainnya turut memberikan ketidakpastian terhadap keamanan minyak bagi suatu negara. Serangan ransomware ke Pertamina hingga saat ini terus terjadi," ujar Andi. 

Andi mengatakan batu bara menjadi penyelamat Indonesia saat krisis energi disaat negara kita harus meningkatkan anggaran untuk impor minyak yang produksinya masih dibawah kebutuhan. 

"Namun seiring komitmen terhadap energi bersih, maka kedepan batubara menjadi tidak bisa diandalkan," ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: