Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Program Co-Firing Berpotensi Sebabkan Konflik Agraria

Program Co-Firing Berpotensi Sebabkan Konflik Agraria Kredit Foto: PLN
Warta Ekonomi, Jakarta -

Upaya pemerintah dengan menggencarkan program co-firing (pembakaran bersama) biomassa pelet kayu dan batu bara di PLTU dalam agenda transisi energi di Indonesia berpotensi menyebabkan konflik agraria. 

Manajer Portofolio dan Riset Bioenergi Trend Asia Amalya Oktaviani mengatakan demi memenuhi target co-firing PLTU pada 2025 setidaknya dibutuhkan 2,3 juta hektare lahan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE).

Kebutuhan masif ini semakin memperbesar risiko konflik akibat perampasan lahan dan deforestasi. Deforestasi juga menurunkan ketahanan pangan komunitas masyarakat adat yang kebutuhan pangannya bergantung pada hutan.

Baca Juga: IESR Rekomendasikan Agar Pemerintah Dapat Percepat Pensiun PLTU

"Hutan Tanaman Energi hanya varietas baru dari cara korporasi melakukan plant and grabbing terhadap tanah-tanah yang selama ini dikelola rakyat, sebelumnya kita tahu ada industri tambang, hutan tanaman industri, dan perkebunan kelapa sawit, perampasan lahan ini dijustifikasi oleh pemerintah melalui narasi transisi energi, sehingga dimungkinkan ekspansi lahan dan lahirnya izin-izin baru hutan tanaman energi," ujar Amalya dalam diskusi, Rabu (5/4/2023). 

Amalya mengatakan bahwa implementasi co-firing biomassa hanya solusi paisu untuk memperpanjang pemakaian batu bara.

Namun, imbasnya bagi masyarakat adalah terputusnya akses untuk pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak atas pangan.

Di mana pengembangan sawit dan HTE untuk menyuplai bahan bakar secara langsung menyebabkan deforestasi, kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya sumber-sumber air, dan perampasan lahan masyarakat.

Sementara di tingkat makro, kompetisi antara lahan untuk energi dan pangan, akhirnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang membuat pemenuhan pangan yang baik semakin tidak terjangkau. 

"Untuk mendorong transisi energi yang mewujudkan nilai-nilai partisipatif, menghormati HAM, adil secara ekologis dan ekonomi, serta transformatif, maka solusi-solusi palsu seperti ini perlu dikritisi di dalam narasi transisi energi di Indonesia," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: