Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

RUU Kesehatan Sejajarkan Tembakau dengan Narkoba, Waduh, Kok Bisa?

RUU Kesehatan Sejajarkan Tembakau dengan Narkoba, Waduh, Kok Bisa? Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru. Sebab, dalam draf rancangan beleid tersebut ada sejumlah ketentuan yang berpotensi memunculkan masalah yang lebih besar.

Salah satunya ihwal disetarakannya produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif. Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri. Baca Juga: Pemerintah Diminta Dukung Pemulihan Industri Hasil Tembakau Demi Stabilitas Ekonomi

Ketentuan tersebut termaktub dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi: zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

Merespon hal tersebut, Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar. 

Sebab menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.  

“Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” papar Sunny dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan. “Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?”

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: