Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Status Kemitraan: Akal-akalan Perusahaan untuk Eksploitasi Freelancer Industri Kreatif di Indonesia

Status Kemitraan: Akal-akalan Perusahaan untuk Eksploitasi Freelancer Industri Kreatif di Indonesia Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K

Bekerja Tanpa Perlindungan Negara

Jika dianalisis menggunakan teori politics of production dari Burawoy (1985), skema kerja pekerja lepas masih terjebak dalam rezim produksi despotik (despotic production regime). Artinya, praktik flexploitation (fleksibel dan eksploitasi) yang terjadi pada pekerja lepas, khususnya pada industri kreatif, disebabkan oleh tidak adanya intervensi negara dalam mengafirmasi hak dan kepentingan pekerja lepas.

Sampai saat ini, belum ada payung hukum yang secara khusus meregulasi skema kerja pekerja lepas (freelance). Payung hukum yang mendekati adalah perlindungan terhadap pekerja lepas harian, yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa pekerja lepas dan pekerja lepas harian merupakan dua terminologi hubungan kerja yang berbeda sehingga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda pula. 

Absennya perlindungan hukum tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan pemberi kerja untuk mengelabui hubungan kerja pekerja lepas menjadi “mitra” alih-alih “pekerja”. Hal ini turut menjadi faktor yang signifikan dalam membuat tidak terpenuhinya hak-hak normatif pekerja lepas industri kreatif.

Pada praktiknya, perusahan pemberi kerja sengaja merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 26 tentang Kemitraan untuk merekrut pekerja lepas. Padahal, aturan dalam pemenuhan hak normatif pekerja seharusnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dengan demikian, tulisan singkat ini menunjukkan betapa rentannya pekerja lepas di dalam perkembangan ekonomi gig. Potret kerentanan kerja yang sudah dipaparkan sebelumnya patut mendorong kita untuk mengkritisi pengelabuan hubungan kemitraan pekerja lepas, khususnya pada industri kreatif di Indonesia saat ini.

Status kemitraan membuat pekerja lepas industri kreatif tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat untuk menuntut dan mempertahankan hak-hak normatif mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem ini cenderung menguntungkan perusahaan pemberi kerja dengan cara mengeksploitasi inferioritas pekerja lepas di industri industri kreatif Indonesia.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: