Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

CENTRIS Ragukan Penyebab Kematian 26 Muslim Uighur karena Penyakit

CENTRIS Ragukan Penyebab Kematian 26 Muslim Uighur karena Penyakit Massa yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Muslim melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/12/18). Aksi solidaritas tersebut untuk mengecam tindakan kekerasan dan perlakuan Pemerintah Cina terhadap warga muslim Suku Uighur di Cina serta menuntut Pemerintah Indonesia untuk memberi pernyataan sikap dan membela warga muslim Suku Uighur. | Kredit Foto: Antara/Novrian Arbi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masyarakat dunia digemparkan dengan berita kematian 26 orang muslim Uighur yang tengah menjalani hukuman penjara sebagai narapidana, di rumah tahanan wilayah Xinjiang China.

Informasi tewasnya 26 muslim Uighur ini, dilansir oleh Radio Free Asia (RFA), yang langsung menghubungi 10 kantor polisi di daerah Maralbeshi di prefektur Kashgar untuk memastikan bahwa pihak berwenang di Penjara Tumshuq telah mengantarkan jenazah yang tewas ke keluarga masing-masing.

RFA menyebut lima dari narapidana yang tewas diketahui telah berusia lanjut, dan meninggal karena penyakit jantung atau paru-paru, sementara satu lainnya meninggal karena diabetes.

Yang paling mengejutkan, RFA mendapat kesaksian seorang warga Maralbeshi yang menyebut muslim Uighur yang meninggal karena kelaparan setelah mereka berpuasa secara diam-diam selama Ramadhan, dan tidak bisa makan saat sarapan atau setelah matahari terbenam karena peraturan penjara.  

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mendesak negara-negara dunia khusunya Indonesia, untuk membentuk tim investigasi kematian 26 muslim Uighur di Xianjiang China.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa menyebut wajar jika banyak pihak yang menyangsikan penyebab kematian 26 muslim Uighur, mengingat informasi seputar etnis minoritas di China, sangat sulit didapat.

“Jika benar ada 26 muslim Uighur tewas seperti laporan RFA, sepatutnya kejadian pilu ini kita kategorikan sebagai tragedi kemanusiaan di China. Beijing harus memberikan penjelasan terkait hal tersebut,” kata AB Solissa kepada wartawan, Senin, (7/8/2023).

Apalagi RFA secara lugas, lanjut AB Solissa, menyebut sumber tepercaya mereka memberikan kesaksian bahwasanya pihak berwenang di penjara Beijing, telah melepaskan jenazah puluhan orang termasuk saudara laki-lakinya, tepat sebelum hari raya Islam yang menandai akhir bulan puasa Ramadhan lalu.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, RFA telah mencoba menghubungi polisi di 10 kota tersebut, termasuk berbicara dengan pejabat di Sériqbuya, Awat dan Chongqurchaq.

Ketika RFA menghubungi kantor polisi di Awat, sebuah kota pasar Maralbeshi, untuk menanyakan tentang distribusi jenazah pada malam Idul Fitri, seorang petugas mengatakan dia mengetahui distribusi 18 jenazah tahanan, tetapi dia menolak untuk mengungkapkannya.

"Yang masyarakat ketahui dari pemberitaan RFA, petugas polisi tersebut tidak mengatakan apakah otoritas penjara membawa jenazah langsung ke anggota keluarga almarhum, ke kantor polisi, atau ke kamar mayat,” tutur AB Solissa.

RFA sebelumnya melaporkan bahwa jenazah lain dibawa ke kantor polisi sebelum diserahkan kepada keluarga.

Proses berlangsung di bawah pengawasan pejabat kabupaten, desa, dan komite rakyat dan polisi. Selain itu, pihak berwenang memantau keluarga selama beberapa minggu.

Penjara Tumshuq sendiri diketahui menjadi tempat penampungan muslim Uighur sejak tahun 2017, dan diduga etnis minoritas tersebut mendapatkan “pendidikan ulang” karena dituduh Beijing perilaku ekstremis.

China telah mendapat kecaman keras dunia internasional karena pelanggaran hak asasi yang parah terhadap mayoritas Muslim Uighur.

Pemerintah Amerika Serikat dan beberapa parlemen negara-negara Barat telah menyatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mewakili negaranya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo menyebut bahwa China melakukan 'genosida' kepada etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

"Mike Pompeo menyebut setidaknya sejak Maret 2017, Beijing di bawah arahan dan kendali Partai Komunis China, telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap sebagian besar Muslim Uighur dan anggota lain dari kelompok etnis dan agama minoritas di Xinjiang. Ini tidak boleh dibiarkan," pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: